Wednesday, January 16, 2013

Menjemput Cinta di Jogja

Menjemput Cinta di Jogja

Separuh mentari sudah menenggelamkan dirinya di ufuk barat. Namun Malioboro baru saja memulai geliat kehidupannya. Wanita-wanita paruh baya penjual jajanan khas Jogja duduk rapi berjajar di trotoar, di atas “dingklik” dengan “rinjing” di depannya, menanti pembeli dengan sabar. Di ujung perempatan, di depan Monumen Serangan Umum 1 Maret Fahril menunggu kedatangan Naila, sebagaimana mereka telah membuat janji untuk bertemu di sana, hari ini, jam ini, melalui facebook.

Sudah setahun ini, mereka saling mengenal dan berhubungan. Dan malam ini akan menjadi pertemuan pertama mereka sejak perkenalan mereka. Fahril pun merasa gugup, penasaran dan campur aduk perasaan yang lain. Detak jantungnya seolah menggetarkan bumi Jogja.

Tak jelas bagaimana wajah Naila dalam bayangannya, karena tak pernah sekalipun Naila mengupload foto aslinya di facebook. Hanya gambar kartun berbentuk perempuan yang nempel di profilnya.

“Naila, aku sudah di Malioboro nih, kamu di mana?” Fahril segera mengirim sms ke Naila.

“Aku masih kesulitan untuk keluar rumah Fahril, mereka menjaga kamarku dengan ketat” jawab Naila.

Muncul rasa resah dalam hatinya. Bagaimana kalau Naila tidak bisa keluar rumah malam ini? Namun dia berusaha membuang keresahannya itu dengan memainkan kamera yang sedari tadi sudah menggantung di lehernya. Sebenarnya dia tidak sendirian dalam hal memotret ini. Banyak sekali di sana penghobi fotografi yang sedang berusaha mencari objek terbaik untuk dijepret.

Satu jam sudah berlalu, namun Naila belum juga datang, atau setidaknya memberikan kabar. Dia berusaha untuk menelfon Naila. Bisa tersambung, namun tak diangkat. Semoga dia sudah dalam perjalanan menuju kemari, gumamnya dalam hati.

Fahril mencoba menghubungi Naila lagi. Sambil menatap Patung-patung pahlawan yang nampak gagah sekali itu.

“Halo Fahril...”

“Lama sekali Naila, aku sudah tak tahan lagi”

“Aku takut Fahril”

“Takut apa Naila? Kamu sudah bisa keluar rumah kan?”

“Aku takut kamu kecewa, setelah melihat diriku yang sebenarnya Fahril”

“Kalau aku begitu, aku tak akan datang jauh-jauh dari Bojonegoro ke Jogja Naila!”

“Bagaimana bila wajahku ternyata jelek?

“Aku tak peduli Naila”

“Bagaimana bila tubuhku gembrot?”

“Aku juga tak peduli, yang penting cepatlah, aku menunggumu di sini”

“Kenapa kamu begitu yakin bisa menerima aku apadanya Fahril?”

“Yang aku tahu, jiwamu itu indah, aku hawatir bila justru engkau yang takut kecewa”

“Engga’lah...”

“Kalau begitu cepatlah kau ke sini, jangan siksa aku dengan perasaan seperti ini!”

Tiba-tiba Fahril merasa ada yang memeluknya dari belakang. Erat sekali. Disertai dengan isak tangis yang terdengar di belakang punggungnya. Dia hanya terdiam.

Lalu Fahril membalikkan tubuhnya.

“Naila?!”

Naila hanya menganggukkan kepalanya. Fahril memeluk Naila, yang tak terhenti linangan air matanya. Seperti ada rindu yang mendendam. Seperti ada beban yang bertumpuk di sana. Fahril tak kuat lagi menahan air matanya. Kini segala kerinduan terjawab sudah. Jiwa yang selama ini dia cintai, kini ada di depan matanya. Jiwa yang selalu dirinduinya, kini sudah di dekatnya. Mereka seperti sudah saling mengenal sejak bertahun-tahun yang lalu. Terlihat jelas kedekatan mereka.

“Semua akan baik-baik saja Naila” ucap Fahril sambil menepuh-nepuk punggung Naila, agar dia merasa aman di sisinya.

Kini diamatinya wajah Naila. Pandang matanya yang sejik, kelentikan bulu matanya, hidungnya yang mancung, tipis bibirnya, dan dagunya yang lancip, semua berkumpul menjadi satu, dan kemudian membentuk satu kata “Cantik”.

Naila hanya tersipu malu saat Fahril mengucapkan kata itu. Mereka kemudian berjalan menyusuri jalan Malioboro. Naila melingkarkan tangan kanannya ke tangan kanan Fahril. Indahnya Jogja malam ini, tak sebanding dengan keindahan dan kabahagiaan mereka malam ini.

“Nai, rasanya aku ingin agar waktu ini terhenti, agar aku bisa berlama-lama, juga selamanya bersamamu, aku tak ingin kebahagiaan ini hanyalah seperti pelangi, yang datangnya sesaat saja” kata Fahril.

Sedangkan Naila hanya menjawabnya dengan senyum manisnya yang manja.

“Fahril, mau jagung bakar?”

“Boleh..”

Mereka berjalan dan terus berjalan, belum jelas kemana tempat yang akan mereka tuju.

“Nai, Bagaimana caranya tadi kamu bisa keluar rumah?”

“Aku keluar dari jendela kamarku, ketika di depan pagar tak ada penjaganya” jawab Naila. “Apa yang harus kita lakukan Fahril, pernikahanku akan dilaksanakan besok. Aku takut fahril, bawalah aku kemanapun kamu pergi. Aku tak mau kembali lagi ke rumah, dan menjadi istri pengusaha itu” Naila melanjutkan perkataannya.

“Kita harus segera menjauh dari tempat ini Naila, mereka pasti sekarang sedah mencarimu” kata Fahril, sambil menggandeng tangan Naila untuk segera pergi tempat lain. Mereka berjalan agak cepat, namun tidak berlari. Kembali ke tampat dimana motor Fahril di parkir.

Baru saja mesin motor Fahril dihidupkan, tiba-tiba sebuah mobil yang tak asing di mata Naila berhenti di depan mereka.

“Cepat Fahriil” ujar Naila.

Fahril segera menjalankan motornya menjauh dari mobil itu. Mobil itu pun berputar arah dan mengejar mereka. Fahril terus memacu laju motornya, namun mereka juga mengejarnya dengan lebih cepat.

Mobil itu berhasil mendahului mereka, lalu berhenti tepat di depannya. Mereka berdua turun dari motornya, dan berlari. Masuk ke gang-gang sempit, pengawal itu pun terus mengejar mereka. Dan tiba-tiba bogem mentah bersarang di wajah Fahril dari depan. Salah seorang pengawal segera memegang Naila. Dan sekali lagi bogem mentah mengenai Fahril, kali ini ke rahangnya. Sontak fahril jatuh pingsan. Dia pun tergeletak di sana.

Naila menjerit histeris dan menangis, mencoba mendekati Fahril, namun tenaganya tak cukup untuk melepaskan diri dari genggaman pengawal berbadan besar itu.

Tak lama, ayah Naila, Pak Hendra, mendatangi mereka.

“Cepat, bawa pulang Naila” perintah Pak Hendra pada pengawal itu. “O ya, bawa juga pemuda ini, ada ganjaran yang harus dia terima nanti.” Lanjutnya.

***

Ketika Fahril tersadar dari pingsannya, dia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan sempit. Berdebu, dan berserakan barang-barang bekas di sekelilingnya.

Agak gelap, karena hanya ada jendela kecil di sana. Duduk di atas kursi kayu dengan tangan dan kaki terikat. Bekas tinju pengawal tadi malam, masih menyisakan nyeri di wajahnya.

Fahril teringat, bahwa hari ini adalah hari pernikahan Naila. Jam tangannya menunjukkan pukul delapan. Itu berarti prosesi pernikahan akan belangsung satu jam lagi.

Dia segera berusaha untuk melepaskan ikatan itu. Namun nampaknya tali itu lebih kuat dari sisa tenaganya itu.

Dia berusaha berdiri, dan mendekati lemari di pojok ruangan itu, lalu menggosok-gosokkan tali di tangannya di sisi pojok lemari itu. Agak lama dia melakukannya, namun tali itu tak putus juga. Dia berhenti sejenak, lalu melakukannya lagi. Dan tali pun berhasil putus.

Dia segera melepaskan tali yang mengikat kakinya, dan menghampiri pintu ruangan itu. Sial, pintu itu tentu saja terkunci.

Kini matanya tertuju pada jendela kaca itu.

“Hanya itu jalan satu-satunya” gumamnya dalam hati. Tapi dia harus memecahkan kaca itu. Bagaimana bila nanti ada yang mendengar?

“Tapi itu jalan satu-satunya” gumamnya lagi.

Diambilnya balok kayu yang ada di pojok ruang itu. Lalu dipukulkan ke jendela kaca itu. Dia berhasil memecahkan kaca itu. Dan berhasil keluar setelah memanjat lemari.

Fahril berjalan mengendap-endap, agar tidak ketahuan penjaga. Sekarang dia memikirkan cara untuk bisa masuk ke rumah Naila dan mengajak keluar dari rumah itu.

Seorang pegawai catering yang sedang mengambil kue dari mobil. Lalu dia mendekatinya. Fahril menjelaskan apa yang sedang terjadi dan menyampaikan maksudnya untuk meminjam seragam itu. Setelah agak lama Fahril menjelaskan dan memohon pertolongan, akhirnya pegawai itu luluh juga, dengan syarat Fahril harus menyelesaikan dulu tugas pegawai catering itu. Dan dia pun mengiyakan.

Dengan menyamar sebagai pegawai catering itu, dia berhasil masuk ke dalam rumah Naila. Fahril mengarahkan pandangannya ke segala penjuru rumah itu, namun dia tak melihat sosok Naila di sana. Lalu dia berusaha mencari kamar Naila.

Di lantai atas, dia melihat ada dua pengawal yang menjaga di samping pintu kamar.

“Itu pasti kamar Naila”gumamnya dalam hati. Lalu dia mencari minuman dan se kotak kue untuk diantarkan ke dalam kamar Naila.

“Mau apa Pak?” tanya salah seorang pengawal.

“Mau mengantarkan pesanan Non Naila Pak”

Sejenak dua pengawal itu saling berpandangan. Untung dua pengawal ini bukanlah orang yang menghajarnya tadi malam, jadi dia tidak mengenali siapa Fahril. Dan Fahril pun dipersilahkan masuk.

“Fahril!!” Sontak Naila memanggil nama Fahril, lalu memeluknya erat.

“Waktu tinggal 10 menit lagi Naila, kita harus segera keluar dari sini” ucap Fahril.

“Tapi bagaimana caranya?” tanya Naila.

Tok tok tok ... terdengar pintu kamar diketuk.

“Naila, ayo cepat keluar, acara sudah mau dimulai nih” kata Pak Hendra dari balik pintu.

“Nak, ayo buka pintunya!”

Namun pintu tak kunjung dibuka oleh Naila. Pak Hendra segera membuka pintu itu. Pak Hendra pun terbelalak matanya ketika melihat Fahril sudah berada di dalam kamar Naila. Mereka berdiri di sana. Tapi kali ini keduanya sama-sama memegang pisau di tangannya, dan bersiap untuk mengiris urat nadinya, bila Pak Hendra bersiukukuh untuk menikahkan Naila.

“Ayah, jika ayah tetap memaksa Naila untuk menikah dengan laki-laki itu, Naila akan bunuh diri” ancam Naila.

“Maksud kamu apa Naila?” tanya Pak Hendra sambil melangkah mendekati Naila.

“Berhenti ayah, atau Naila akan memotong urat nadi Naila ini!, Selama ini Naila selalu berusaha untuk selalu menuruti semua kehendak ayah, tapi Naila mohon, untuk suami biarkan Naila sendiri yang memilih.”

“Tapi bagaimana kata Pak Hadi nanti Naila?” tanya Pak Hendra.

“Naila tak peduli. Ayah menjodohkan saya dengan anak Pak Hadi supaya bisnis ayah makin lancar kan?”

“Tidak Naila, ayah hanya ingin kamu bahagia!”

“Bohong.... Kalau ayah ingin Naila bahagia, biarkan Naila menikah dengan Fahril.”

“Itu tidak mungkin Naila, apa kata orang-orang nanti??”

Sirr.... Naila menyayat tangan kirinya. Darahnya mulai bercucuran.

“Naila....” Pak Hendra berteriak dan menghampiri Naila.

“Naila tidak main-main ayah....”

Fahril pun tak kalah panik.

“Dia harus segera kita bawa ke rumah sakit Pak!!” ucap Fahril.

“Iya cepat... cepat!!” jawab Pak Hendra.

Fahril segera menggendong Naila keluar, masuk ke mobil dan langsung di bawa ke rumah sakit.

Fahril tak kuat membendung tangisnya. Sedangkan tubuh Naila kian lemas, karena sudah banyak darah yang keluar dari tubuhnya.

Ketika mobil sudah sampai di rumah sakit, Naila segera di masukkan ke dalam UGD. Fahril, Pak Hendra dan yang lain menunggu di luar ruangan.

Tak lama, Pak Hadi beserta anak dan keluarganya menyusul mereka ke rumah sakit.

“Apa yang sedang terjadi Pak?” tanya Pak Hadi.

“Naila menolak pernikahan ini, dia berusaha bunuh diri dengan menyayat tangannya. Dengan kejadian ini, saya membatalkan pernikahan anak saya dengan anak Bapak. Saya harap Bapak mengerti.” Kata Pak Hendra.

“Tidak bisa begitu Pak Hendra. Dimana nanti saya menaruh muka di hadapan kolega saya?” kata Pak Hadi.

“Saya juga malu pak, tapi ini harus sayu lakukan. Saya tidak mau kehilangan anak semata wayangku.”

Jawab Pak Hendra Pasti.

“Kalau begitu semua rencana perjanjian bisnis kita cukup sampai disini. Dan saya akan mengajukan gugatan di pengadilan.” Ancam Pak Hadi dengan kemarahan yang memuncak.

“Silahkan Pak Hadi, anak saya masih lebih berharga ketimbang itu semua” Jawab Pak Hendra dengan pasti.

Pak Hadi beserta keluarganya segera meninggalkan tempat itu.

Sedangkan Fahril sedari tadi hanya mondar-mandir ke sana kemari mencemaskan keadaan Naila. Hingga akhirnya salah seoran dokter keluar dari ruangan itu.

“Bagaimana kondisi Naila Dok?” tanya Fahril.

“Iya bagaimana Pak keadaan anak saya?” Pak Hendra menambahi.

“Alhamdulillah, anak Bapak selamat. Untung segera dibawa kemari. Kalau tidak, dia bisa meninggal karena kehabisan darah.”

“Apakah kami boleh melihatnya Dok?” tanya Pak Hendra.

“Boleh... boleh... silahkan Pak!” jawab dokter itu.

Pak Hendra menangis di sisi Naila. Dia minta maaf atas sikapnya selama ini. Dia menjelaskan bahwa selama ini dia telah dibutakan dengan harta, dan melupakan kebahagiaan anaknya. Dan Pak Hendra pun kemudian merestui hubungan Naila dengan Fahril.

No comments:

Post a Comment