Monday, January 7, 2013

Senyum Aisya

Aku tak ingin hidup ini seperti puisi yang telah terjemahkan, biarkan saja dia menyimpan misteri, dan akan menebarkan hikmah dari setiap ceritanya yang ada. Aku tak ingin hidup ini seperti baris not-not angka yang sudah tersusun rapi untuk dimainkan, biarkan saja hidup ini mengalir, berimprovisasi kesana kemari. Mungkin dengan begitu akan lebih indah kita dengarkan. Bunga-bunga layu, terpetik tangan-tangan jahil, sebelum mereka sempat berkembang. Merekah menghias taman dan halaman. Seperti halnya bangunan istana pasir pantai, yang lenyap seketika, saat ombak menghantamnya. Mungkin itulah hidup, semua tak seperti apa yang kita harapkan. Meski memang tak harus begitu.

Aku terdiam, duduk di bawah pohon beringin, di pinggir jalan, menatap laut dan deburan ombaknya. Mereka terlihat seperti anak-anak liar yang sedang bercengkerama. Tak mengerti dan tak mau tahu tentang apa yang ada dalam pikiran dan hatimu. Ah, biarlah. Mereka menjadi dirinya sendiri. Tak mungkin ku hentikan gerakan liar ombak itu. Biarkan juga angin membelai mesra daun-daun kelapa, biar mereka bisa mengayun melambai dengan indahnya. Bukankah dengan itu panti akan terlihat makin hidup.
Hari ini tak ku dapatkan sepeserpun rupiah di tangan. Sebuah kotak kecil yang seharian tadi ku gantungkan di leherku, menatap berat perutku yang belum termasuki makanan, kecuali dua buah pisang goreng seharga seribuan tadi pagi setengah siang. Alhamdulillah, halal. Tak kan ku biarkan darah dan daging tubuhku ini terbuat dari makanan-makan haram, aku takut bila nanti tubuh ini bersarang pada api-api neraka. Biarlah, bukankah aku sudah terbiasa sekali dengan hal itu.
"Aisya, jangan lupa shalat ya?" tiba-tiba aku teringat pesan ibu ketika aku hendak berangkat tadi. matahari sudah bergeser ke barat dua langkah, dari titik tengah bumi. Segera ku mencari tempat shalat terdekat, untuk segera menunaikannya. Berjalan ke arah selatan, dari panti itu, menyusuri lorong-lorong, tak ku temui mushalla di sana. Ku lanjutkan terus berjalan ke arah selatan, hingga menembus di jalan raya. Ku lihat ke arah barat dan timur, namun tak ku temui juga bangunan masjid atau pun mushalla di sana. Ah, Mungkin ke arah barat, bukankah di sana banyak sekali pemukiman penduduk. Setelah sekitar seratus meter berjalan ke arah barat, akhirnya ku temui juga masjid. Segera ku menuju kesana. Ku letakkan daganganku di teras masjid. dan segera berganti baju yang bersih di kamar mandinya. Alhamdulillah, aku masih bisa mengikuti  shalat jamaah di sana. Megah sekali bangunan masjid ini, sayang sekali, satu shaf pun tak sempurna. Tepatnya sepertiga panjang shaf saja yang mengikuti shalat jamaah.
Tak pernah ada yang tau, bagaimana sebenarnya perasaan hatiku kini, aku adalah seorang perawan tua, yang tak ada seorang pun laki-laki yang tertarik kepadaku. Bagaimana tidak? Kini usiaku sudah 30 tahun. Aku juga hanyalah seorang perempuan yang bercacat kaki, dimana kakiku yang kiri sedikit lebih pendek dari kaki kananku. Ketika aku berjalan, maka kaki kiriku harus kujingkatkan, agar tidak kelihatan naik turun tubuhku ketika berjalan.
Aku tidak menyesali keadaanku ini. Aku memasrahkan segalanya kepada Allah. Namun sebagai manusia biasa, apalagi perempuan, terkadang aku merasa iri melihat mereka yang tubuhnya normal. Aku hanya bersedih, karena belum bisa memenuhi keinginan ibu, "menikah".
Sebuah permintaan yang selalu menjadi beban hati dan pikiranku, ketika aku mengingatnya. Ibuku sudah tua, dan aku adalah anak satu-satunya. Siapa yang akan melanjutkan generasinya, bila aku tidak menikah. Siapa yang akan mendoakan ibu, ayah dan saya nanti bila kami sudah mati, bila aku tidak bisa menikah lalu memiliki keturunan.
Apakah aku harus lebih aktif dalam mencari pendamping. Haruskah aku menawarkan diri terlebih dahulu. Pada setiap laki-laki yang ku temui? Sungguh sebenarnya itu bukanlah kepribadianku. Aku tak ingin keserbakekurangan ini membuatku menggadaikan prinsip dan pedoman hidup.
********
Hari ini aku pulang agak malam, setelah masuk ke rumah, seperti biasa, aku langsung mencari ibu. Ku lihat di dapur tidak ada. Ah, mungkin dia sudah tidur. Ku coba lihat ibu di kamarnya. Benar, Ku buka satir pintu kamarnya ternyata ibu sudah tertidur.
Aku pergi lagi ke dapur, untuk mencari makanan. Tapi tak ku dapati satu pun makanan yang ada di sana. Dapur terlihat kotor tak seperti biasanya. Sedangkan perut ini sudah terasa lapar sekali. Aku lalu menuju ke kamar ibu lagi untuk menanyakannya. Ku memegang kaki ibu untuk membangunkannya. Kaki ibu dingin sekali. Kenapa dingin sekali. Kupegang tangannya, juga dingin sekali. Tak berdenyut nadinya. Tida...........................k. Ibu.............................................
Bangun ibu, jangan tinggalkan aisya dulu. Aisya belum memenuhi keinginan ibu. Ibu.................... Bangun ibu...
Bersambung :

No comments:

Post a Comment