Thursday, January 10, 2013

Gadis Oligrofenia

Gadis Oligrofenia

Tak mungkin dia yang melakukannya. Dia yang dikenal orang sebagai pendiam itu? Mana mungkin dia yang melakukannya? Seperti yang dikatakan Tarjo tadi, waktu aku dan dia sedang sama-sama ngopi di warung. Seribu tanya dan keraguan menelusup dalam hati. Belum, itu baru prasangka saja. Sedangkan kebenarannya masih belum dibuktikan.

Aku belum habis pikir, bagaimana bisa hal itu terjadi pada Dewi. Dewi yang kata dokter Agus mengalami oligrofenia itu atau dalam bahasa saya mengalami keterbelakangan mental itu kini telah megandung si jabang bayi. Benih dari siapa yang membesar dalam perutnya itu? Aku masih seratus persen ragu, bila yang melakukannya adalah Suparno, yang kakak ipar Dewi sendiri itu? Yang istrinya dulu menjadi sasaran kumbang-kumbang desa ini? Ah, ku coba tuk menepis semua pikiran tentang anak malang itu. Namun sia-sia belaka usahaku, kejadian itu sungguh telah merasuki hatiku, dan mungkin juga semua warga desa ini.

Ketika Pak Lurah dan beberapa warga yang ikut melihatnya di rumah kecil itu, anak itu hanya menggigit-gigit jarinya, bicaranya terbata-bata khas anak yang mengalami oligrofenia. Lima tahun lalu rumah kecil itu dibuat oleh bapaknya khusus untuk dewi. Dia ditempatkan di situ setelah beberapa hari sering mengamuk dan memecahkan banyak sekali perabot rumah tangga. Rumah itu sendiri hanya terbuat dari bambu, dan berdinding kepang, yang juga terbuat dari bambu yang dibelah tipis-tipis lalu dianyam menjadi kepang. Atapnya hanya terbuat dari jerami. Sungguh malang nian nasib gedis kecil itu.

“Siapa yang melakukannya?” Pak Lurah mencoba menanyainya. Tapi dia hanya bicara sendiri dan tak jelas apa yang dia bicarakan. Pak Lurah mencoba menanyainya sekali lagi. Lalu dia terdiam, lalu diam. Semua warga yang ada disitu menunggu Dewi berbicara.

Mereka menatap Dewi dengan pandangan penuh tanya. Aku pun mencoba memandangi warga yang lain dengan maksud untuk melihat reaksi mereka. Tak sengaja pandanganku berpapasan dengan pandangan si Parno. Namun itu tak lama. Dia membuang pandangannya ke arah Dewi, gadis berusia lima belas tahun itu. Dia seperti tak mau terlihat raut wajahnya olehku. Gadis kecil itu menangis, menangis sejadi-jadinya sambil mengguling-gulingkan tubuhnya di lantai yang beralaskan tanah dan tumpukan jerami itu. Dia menunjukkan tiga buah jarinya kepada Pak Lurah. Lalu ditunjukkannya tiga jarinya itu kepada semua yang datang ke situ. Tiga jari? Apa maksud gadis kecil itu?

Pak Lurah dan warga mencoba menerka bahwa dia diperkosa sebanyak tiga kali. Kucoba sekali lagi memandang raut wajah Parno. Dia seperti gelisah, sekali lagi, pandangan matanya menatap pandanganku, dan sekali lagi dia juga membuang pandangannya. Kali ini dia berganti memandang Pak Lurah. Perasaanku mulai mencurigai bahwa yang melakukannya adalah si Parno. Kalau tidak, kenapa raut wajahnya harus seperti itu?

“Siapa yang melakukannya Nduk?” Pak Lurah mencoba menanyainya lagi. Tapi Dewi hanya memainkan tiga jarinya tadi, sambil bicara terbata-bata tak jelas apa yang dikatakannya. Setelah sekian lama menunggu, Dewi belum juga menjawab pertanyaan tadi. Pak Lurah pun putus asa dan beranjak dari tempat itu. Kemudian disusul warga satu per satu.

Aku sendiri tidak langsung pulang. Aku menunggu hingga semua warga pergi dari tempat itu. Dan kini tinggal aku, Suparno dan istrinya, dan Dewi. Aku masih diam, Suparno pun diam. Aku memang menungguapa yang dikatakan oleh Suparno kepadaku.

Ku lihat dia berkali-kali bernafas berat.

“Oalah nduk-nduk, kenapa ini bisa terjadi padamu?” kata Suparno. Dia mengatakan kalimat itu. Tetapi yang nampak di wajahnya seperti bukan raut wajah kasihan, melainkan ketenangan. Mungkin karena Dewi sudah tidak ditanyai lagi oleh Pak Lurah. Apa mungkin dia merasa aman, karena ternyata Dewi tidak bisa menjawab pertanyaan Pak Lurah tadi. Ah, aku terlalu berperasangka. Perasangka yang selalu menuju kepada satu nama, Suparno.

Aku segera pulang, karena harus mencarikan pakan buat sapiku. Kuambil sebilah sabit dan keranjangku, berjalan menuju ke hutan yang tak jauh dari rumahku. Sampai di pertigaan, aku berpapasan dengan Tarjo yang juga akan mencari pakan sapinya.

“Kang, gimana menurut kamu tentang si Dewi itu” tanyanya langsung kepadaku tanpa basa-basi terlebih dulu. “Kamu lihat nggak, wajah si Suparno ketika Pak Lurah menanyai Dewi tadi?”

“Tidak, memangnya kenapa?” jawabku ingin tahu pendapatnya. Lalu dia diam, melanjutkan langkah-langkah kecil menuju hutan. Aku tak sabar untuk mendengarnya pendapatnya tentang Parno itu. “Wajah Suparno bagaimana Tarjo? Apa maksud kamu wajahnya yang hitam legam terbakar matahari itu?”

“Bukaa...n, kalau itu sudah bukan rahasia lagi, hahahaha....,” tawanya mengejek sekali. “Aku lihat wajahnya seperti orang yang sedang ketakutan, takut ketahuan” sambungnya.

“Ah, dari mana kamu mempelajari masalah ekspresi wajah manusia, mungkin itu karena dari awal kamu sudah mencurigainya?” tanyaku menyelidik.

“Aku melihat dia berkali-kali menyapu keringat yang keluar dari wajahnya. Aku menilai itu karena dia merasa gelisah, apalagi ada yang bilang pernah melihatnya malam-malam masuk ke rumah Dewi”

“Apa? Benar apa tidak yang kamu bicarakan itu? Kamu jangan ngawur Jo” kataku sedikit menekan padanya.

“Kenapa tidak kamu laporkan saja ke Pak Lurah?”tanyaku.

“Aku takut dituduh mengada-ada dan memfitnah Kang?”

Malamnya aku semakin tidak bisa tidur memikirkannnya. Apa benar si Suparno yang melakukan? Kuingat semua yang dikatakan oleh Tarjo padaku. Kenapa si Tarjo ngotot menuduh si Suparno? Ketika dia bilang ada yang melihat Suparno masuk rumah Dewi malam itu, kenapa dia tidak menyebutkan siapa, siapa yang melihat Suparno masuk rumah Dewi?

Ku minum lagi kopi buatan istriku tadi, sudah dingin, tapi tetap nikmat untuk menemani lintingan tembakauku. Tiba-tiba kini perasaanku justru balik menyangka si Tarjo lah yang melakukannya. Dia menuduh Suparno untuk menghilangkan jejaknya, dan mengalihkan perhatian warga.

Esoknya kuajak dia untuk menemui Pak Lurah, dia seperti enggan dan beralasan ini itu.

“Jo, aku tak mau tiap malam capek memikirkan masalah ini,” kataku.

“Lagian buat apa kamu seserius itu memandang masalah ini? Bukankah dia hanya gadis yang mengalami keterbelakangan mental?” jawabnya yang membuat prasangkaku padanya menjadi lebih besar lagi.

“Tidak bisa Jo, ini masalah desa, kalau tidak kita, siapa yang akan menyelesaikan.” Aku memaksanya untuk tetap ke rumah Pak Lurah. Dan akhirnya dia pun mau.

Sampailah kami di rumah Pak Lurah. Dan langsung mengutarakan maksud kedatangan kami ke sana.

“Aku sebenarnya mau ada acara di kecamatan ini, bagaimana ya?” sejenak pak lurah terlihat berpikir-pikir.

“Baiklah, kalau begitu, mari Kang kita ke sana sebentar” Pak Lurah akhirnya menyetujui.

Sebelumnya kami, mendatangi rumah Suparno meminta izin untuk menemui Dewi. Senyumnya seperti dipaksakan saat melihat wajahku tadi.

“Sampeyan ikut ke sana juga to Kang?”tanyaku pada Suparno.

“Iya, sebentar Kang, nanti aku menyusul sebentar lagi” jawabnya.

Pak Lurah mendekati Dewi dengan halus, biar dia tidak takut. Dia duduk berjongkok di depan Dewi.

“Nduk.... Dewi... Siapa yang telah melakukannya padamu?” tanya Pak Lurah.

Dewi hanya diam, dan memandangi wajah Pak Lurah dengan tajam.Aku sendiri sudah tak sabar ingin mendengar jawaban Dewi.

“Dewi, Siapa yang melakukannya?” aku mencoba ikut bertanya. Dia berganti memandangku. Diam, lalu diam, dan kemudian diam.

Suparno yang tadi katanya mau menyusul, sekarang sudah masuk ke rumah Dewi. Sekali lagi aku bertanya pada Dewi.

“Siapa Nduk yang berbuat padamu?” perasaanku kian kasihan padanya, manakala bulir-bulir air mata tertahan di kelopak matanya, ku dekati dan ku beranikan diri memeluknya. Dia memang mengalami keterbelakangan mental, tapi di tidak gila. Dia mungkin juga mempunyai perasaan yang waras seperti orang lain. "Katakan saja nduk siapa yang berbuat itu padamu? Nggak usah takut, tidak ada yang akan menyakitimu”

Dia melepaskan pelukanku, dengan tiba-tiba dan sedikit keras. Tak lama setelah itu dia mengangkat jari telunjuknya ke arah Pak Lurah.

Haaaaaaaaaaaaa?????

No comments:

Post a Comment