Wednesday, January 16, 2013

Penyesalan Nasiha

Penyesalan Nasiha

Malam itu, Nasiha hanya mengurung diri di kamarnya. Ketika ibunya memanggilnya untuk membelikan makanan di luar, tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya yang beku.

Masih jelas terngiang di telinganya, celotehan para anak muda, di pertigaan sore tadi. “Hai Nasiha, kamu butuh ini kan? Nih bawa pulang!” kata salah seorang pemuda sambil menunjukkan kayu pemukul kentongan, sambil diacungkannya di depan tempat kelaminnya.

Dia merasa terhina sekaligus sakit hati. Dia sudah menjanda selama sepuluh tahun. Sejak dia berusia 25 tahun. Dua tahun setelah perceraian itu, sebenarnya dia sudah ingin mencari pengganti Salam, suaminya dulu. Namun apa yang bisa dilakukan oleh seorang janda seperti Nasiha? Tidak mungkin dia sendiri yang mencari seorang suami. Sangatlah tabu bagi seorang perempuan untuk bersikap aktif terhadap laki-laki.

Ibunya yang sudah berusia 60 tahun entah tidak mengerti perasaan Nasiha atau tak tau harus bagaimana. Seolah sepuluh tahun berlalu tanpa sebuah arti. Nasiha merasa kesepian sekali. Sebagai manusia biasa dia juga membutuhkan ketentraman hati bersama seorang suami, dan juga membutuhkan penyaluran hasrat biologis.

Ketika dia keluar rumah, dia harus menerima pandangan mata-mata nakal ke arahnya. Seolah para laki-laki itu berkata “Hai Janda, kau pasti haus akan kenikmatan laki-laki, sini aku berikan!” Seringkali ia harus mempercepat langkahnya ketika dia harus melewati pertigaan itu. Karena setiap kali dia melewatinya, para pemuda itu terus saja mengeluarkan kata-kata yang bisa menyakiti hatinya.

Tapi malam ini, kesedihan begitu melingkupi hatinya. Kerinduan akan kasih sayang laki-laki begitu menyayat hatinya. Ibunya yang tadi memintanya untuk membeli makanan sudah tak terdengar lagi suaranya. Ya, dia hanya tinggal bersama ibunya. Ayahnya baru saja meninggal dua tahun yang lalu. Membuat rumah itu terasa sekali membutuhkan adanya seorang laki-laki.

Ketika dia melihat para tetangga yang berangkat jalan-jalan bersama keluarga mereka, ada sebuah kecemburuan dalam hatinya. Mengapa dia tidak merasakan kebahagiaan itu? Yang paling menjadi perhatiannya adalah keluarga rumahnya berhadap-hadapan dengan rumahnya. Mereka sekeluarga terlihat bahagia sekali. Pak Darta yang berpenghasilan besar, istrinya yang cantik sekali dan dua anak mereka yang lucu-lucu. Kebahagiaan mereka sempurna sekali.

Tiap hari Minggu Nasiha menyempatkan mencuri pandang kepada keluarga Pak Darta yang hendak bepergian. Begitu juga hari ini, dia tidak hanya melihatnya dari balik korden rumahnya. Kini dia sambil berpura-pura membersihkan halaman rumah.

“Mari Mbak Nasiha!” kata istri Pak Darta yang hendak menaiki mobilnya.

“Mari..”

Ah, mereka benar-benar bahagia.

Kepada para tetangganya, dia selalu berusaha menunjukkan wajah kebahagiaannya, dan menyembunyikan kesedihannya. Meski kesedihan telah begitu menggumpal, mendominasi seluruh hatinya. Tentu saja malu, malu bila orang-orang tahu bahwa sekarang Nasiha sedang menderita, menderita karena sudah menjanda selama sepuluh tahun. Meski sejatinya begitu.

Tiba-tiba dia merasa menyesal sekali, karena telah menolak beberapa lelaki yang datang hendak melamarnya.

Pertama adalah Pak Sulhan, seorang kaya yang datang dari kota lain, tapi sudah beristri dua. “Mana mungkin saya menjadi istri yang ketiga?” kata hatinya pada waktu itu. Dia pun langsung menolaknya dengan halus. “Andai saja waktu bisa diulang, biar saja menjadi istri yang ke tiga, toh tetaplah aku adalah perempuan yang bersuami.”

Laki-laki ke dua yang mendekatinya adalah Badrun. Pemuda dari desa setempat, yang juga ditolak oleh Nasiha. Karena pekerjaan Badrun yang tak pasti, serabutan, kadang kerja kadang tidak. Bagaimana nanti kehidupanku? Begitu pikirnya saat itu. Namun kini dia menyesal, “Seandainya aku dulu menerima Badrun, tentu sekarang aku sudah tidak menjanda lagi. Masalah rejeki bisa kita cari bersama-sama.”

Laki-laki yang ke tiga adalah Pak Sulaiman. Seorang duda dari kompleksnya. Duda beranak satu. Hidupnya sudah mapan. Pekerjaannya tetap, dan bergaji cukup. Namun Nasiha juga menolaknya, karena dia tidak ingin menjadi ibu dari seorang anak yang bukan anak kandungnya sendiri. Kini pun dia menyesali dengan berbagai alasan yang berkecamuk dalam hatinya.

Andai dan andai saja. “Andai saja aku tak minta cerai pada Mas Salam. Andai saja aku menerima salah satu laki-laki yang datang melamarku itu.” Nasiha begitu menyesali semua penolakannya pada laki-laki yang pernah datang mendekatinya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Tak mungkin Nasiha memutar kembali waktu yang sudah tergulung oleh kenangan. Dan kini hanya kepedihan dalam kesendirian yang ia rasakan.

Waktu sudah sudah menunjukkan pukul dua dini hari wib. Nasiha segera beranjak dari tempat tidurnya. Seperti malam-malam sebelumnya. Dia langsung mengambil air wudhu untuk melaksanakan shalat tahajjud. Malam ini, dalam kepedihan hati yang ia rasakan dia menumpahkan semua beban di hatinya dalam bait-bait doa yang ia ucapkan.

“Duhai Sang Penentu segala ketentuan

Tentukanlah jodoh yang terbaik untuk hamba

Hamba membutuhkan seorang imam dalam hidup hamba

Hamba juga tak ingin terjerumus dalam kesesatan karena status hamba

Duhai Sang Pencipta malam

Di malam yang hening ini

Ijinkanlah hamba memohon

Hamba memohon sekali, segerakanlah pertemuan kami dengan jodoh kami”

Hari demi hari terus berlalu. Namun Nasiha belum juga menemukan jodohnya. Hingga suatu saat, ketika dia pergi ke sebuah terminal bus, dia bertemu dengan seorang laki-laki. Namanya Salam.

Nama dan wajah itu tak begitu asing baginya. Karena Salam adalah laki-laki yang pernah menjadi suaminya selama setahun itu. Ya, hanya setahun. Apakah Salam yang menceraikan Nasiha? Tidak. Tidak. Nasihalah yang mengajukan pada Salam, ketika pernikahan itu baru berjalan satu tahun.

Pengajuan cerai itu pun sebenarnya karena alasan harta. Hanya karena Salam tidak bisa memberikan kehidupan seperti kehidupan para teman dan tetangganya. Kehidupan yang mewah dan berkecukupan. Dimana ada mobil, ada perhiasan, ada rumah mewah, dan ada segala bentuk identitas seseorang yang disebut sebagai orang kaya.

Namun sayang, Salam hanyalah sebuah Penjual Bakso, dan juga penjaga kebersihan masjid di kompleksnya. Selain itu dia juga merangkap sebagi muadzin di masjid itu.

Nasiha seringkali merasa iri pada temannya yang bernama Fatimah, yang mendapatkan seorang suami yang kaya raya. Atau juga Zulaikha yang dipersunting oleh putra seorang Kyai. Dan juga temannya yang paling gemuk sendiri, dia sering memanggilnya gembrot, sedangkan nama aslinya Fatimah. Dia di persunting oleh laki-laki biasa, namun pada akhirnya karena lancarnya usaha suaminya, dia sekarang juga sudah menjadi kaya raya.

Ketika genap setahun pernikahan Nasiha dengan Salam, dia menghadiahi ulang tahun pernikahannya dengan sebuah permintaan cerai pada Salam suaminya. Hal itu membuat kekecewaan yang sangat mendalam bagi Salam. Dia tak pernah menyangka Nasiha akan mengajukan cerai.

Dan kini dia bertemu lagi dengan Salam. Saat itu Salam sedang berdiri di samping mobil, dengan pakaian yang bagus dan juga rapi. Nasiha sendiri hampir saja tidak mengenalinya.

Nasiha masih duduk di tempat duduk yang disediakan bagi calon penumpang di terminal itu. Setelah agak lama melamun, dia melihat lagi ke arah dimana Salam berada. Namun Salam sudah tidak berada di tempat itu lagi. Dia mencoba untuk mencarinya ke arah lain, namun tak juga ditemukannya. Jelas sekali ada kekecewaan dalam hatinya.

“Nasiha?” Nasiha terperanjat ketika tiba-tiba ada yang memanggil namanya. Segera dia menoleh ke arah suara panggilan itu berasal.

“Mas Salam?” Nasiha menjawab. Kali ini ada binar-binar kebahagiaan di raut wajah Nasiha. Ketika dia melihat Salam lebih dekat lagi, ada pesona-pesona yang terpancar dari diri Salam. Dia terlihat lebih beraura, dan berwibawa dengan penampilannya saat ini. Dengan segera dia berharap, semoga ini adalah awal kesempatan untuk bisa kembali kepada Salam. Begitu cepat keputusan dalam hatinya itu dia buat.

“Mau kemana?” tanya Salam.

“Mau ke Surabaya Mas,” jawab Nasiha dengan wajah yang begitu ceria. Wajah yang begitu berlawanan ketika dia meminta cerai waktu itu. “Mas Salam sendiri ngapain di sini?”

“Saya mau ke rumah makan itu, itu tuh, yang ramai sekali itu, na..h itu rumah makan saya, alhamdulillah, hasilnya lumayan. Dari rumah makan itu, Allah sudah memberikan saya rumah, mobil dan rizki yang berkecukupan,” jawab Salam sambil menunjukkan rumah makannya di area terminal itu. Kemudian Salam mengambil tempat duduk di samping Nasiha yang dari tadi kosong.

“Gimana kabarnya?” tanya Salam.

“Al-hamdulillah, yah beginilah Mas keadaannya,”

“Ibu gimana? Sehatkan?” tanya Salam lagi.

“Alhamdulillah sehat.” Nasiha semakin yakin, bahwa ini adalah jawaban dari setiap do’a yang dipanjatkan setiap malamnya. Seketika dia semakin sumringah saat tengah berbicara dengan Salam.

“Kamu sekarang kerja dimana?”

“Masih seperti dulu mas, hanya berjualan kue di pasar,”

“Sudah menikah?”

“Belum”

“Lha.. Kok belum? Kenapa?”

Nasiha hanya terdiam seribu kata. Tak ada satu alasan pun yang bisa ia ucapkan. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu.

Dia sekarang menyesal sekali, karena telah meminta cerai dari Salam sepuluh tahun yang lalu. Dan kini dia sangat berharap bisa kembali pada Salam. Yah... Kembali pada Mas Salam yang sekarang.

Namun sebelum harapan itu kian membesar, tiba-tiba data seorang perempuan kecil menghampiri mereka.

“Papa, sudah ditunggu Mama di mobil,” kata perempuan kecil itu.

“Iya sayang,” jawab Salam pada putrinya itu. “Mari Nasiha, saya mau pergi dulu.”

Nasiha hanya tersenyum, di tengah butir-butir air mata yang masih terbendung di kelopak matanya.

No comments:

Post a Comment