Hari itu langit sedang tertutup oleh awan
hitam yang menggumpal, menutupi segala penjuru langit. Aisyah melihat
arlojinya yang menunjukkan pukul tiga sore. Ia harus segera sampai di
rumah. Tadi pagi sebelum Aisyah berangkat ke kantor, ibu
mewanti-wantinya agar segera pulang setelah jam kantor selesai. Saat
Aisyah bertanya ada apa, Ibu hanya menjawab nanti juga pasti akan tahu.
Aisyah langsung menaiki motornya, dan
menyusuri jalan menuju ke rumah. Jarak antara kantor dengan rumahnya
hanya sekitar 2 km. Namun padatnya kendaraan di jalan raya, membuat
Aisyah agak lama sampai di rumah. Sedangkan awan tebal di atas seperti
hendak tumpah ke bumi. Aisyah pun berusaha untuk secepat mungkin sampai
di rumah.
Tiiiiiiiiiiiiittt, suara klakson sebuah
mobil yang melaju dari arah depan Aisya. Hampir saja dia terserempet
oleh mobil itu. Untuk dia segera tersadar dari lamunannya. Dalam
perjalanan dia selalu dijejali tanda Tanya dalam hati. Jawaban ibu yang
sangat tidak jelas tadi pagi membuat Aisyah menyisakan kegalauan dalam
hatinya. Karena kali ini bersikap tak seperti biasanya.
Ada apakah gerangan? Apa Ibu akan
membelikannya sesuatu. Ataukah akan ada seseorang yang akan
dijodohkannya dengannya? Ataukah Mas Kholis diam-diam akan melamarnya
malam ini? Dan atau atau yang lain yang tak tergambar jelas di benak
Aisya. Yang jelas saat ini dia masih menjalin hubungan dengan Kholis
yang sekarang masih menimba ilmu di sebuah pondok pesantren di Kendal,
Ngumpak Dalem, Dander, Bojonegoro.
Sesampainya Aisyah di rumah, ternyata di
depan rumah sudah terparkir mobil. Siapakah tamu yang datang? Pikirnya
dalam hati. Setelah memarkir motornya, dia bergegas masuk ke rumah,
menyalami ibunya, kemudian menyalami satu persatu tamu yang ada di sana.
Mereka berjumlah empat orang. Aisyah belum mengenal siapa mereka.Yang
jelas wajah mereka begitu berseri ketika menyambut kedatangannya.
Setelah beberapa lama berbincang,
akhirnya Aisyah mengetahui bahwa mereka adalah Bapak Zainuddin beserta
istri dan anak-anaknya. Istri Pak Zainuddin bernama Siti Rukayah, nampak
akrab sekali dengan ibu Aisyah. Ternyata mereka adalah teman ketika
masih sama-sama berada di pesantren dulu. Anak yang pertama bernama
Yusuf, kira-kira berusia 27 tahun, dan Silvi yang kira-kira berusia 16
tahun. Mereka nampak sekali sebagai keluarga yang bahagia, mereka juga
agamis kalau sekilas dilihat dari cara mereka berpakaian.
Wajah Yusuf yang rupawan, tak pernah
dibantah oleh Aisyah. Ditambah lagi dengan bibirnya yang murah senyum.
Apalagi senyum itu makin membuat wajah Yusuf kian terlihat manis. Secara
sederhana, siapapun wanita yang bertemu dengan Yusuf, pasti akan
terpana dan akan dengan mudah sekali jatuh cinta.
Begitu juga dengan Aisyah, sejenak dia
begitu terpesona, dan lupa dengan sosok yang bernama Kholis di sana.
Sedangkan tujuh tahun yang lalu, Aisyah dan Kholis telah menyatukan
janji akan saling menanti satu sama lain, hingga waktu mengijinkan
mereka untuk bersatu.
Kholis pernah mengatakan bahwa “Tak ada
cinta setulus cintaku padamu, maka tunggulah aku, berikanlah aku waktu
untuk memantaskan diri agar layak untuk menjadi pendampingmu.”Saat itu
adalah ketika mereka masih duduk dibangku kelas tiga di Madrasah
Tsanawiyah. Sebelum akhirnya mereka terpisah karena melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang berbeda. Kholis memutuskan untuk nyantri di
Kendal, sedangkan Aisyah memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya di SMA
Negeri.
Meski demikian, bukan berarti keagamaan
Aisyah sedikit, karena Aisyah tumbuh dari kalangan keluarga yang agamis
dan berilmu agama yang mendalam, sehingga masalah keagamaan dia pelajari
dari ayah dan ibunya setiap hari.
Pernah suatu malam ketika Kholis pulang.
Dia main ke rumah Aisyah. Ketika itu ayahnya masih hidup. Ayah Aisyah
mengetahui perihal hubungan anaknya dengan Kholis. Lalu ayah Aisyah
memberikan syarat pada Kholis bila ingin mempersunting Aisyah. Syaratnya
ada dua, Kholis harus hafal Alfiyah berikut artinya, serta hafal
Al-Quran.
Sejak saat itu, Kholis bertekad akan
memenuhi kedua syarat itu. Mendengar hal itu, keduanya pun makin yakin,
bahwa keduanya nanti benar-benar akan hidup bersama.
Hari sudah menjelang maghrib, Pak
Zainuddin dan keluarganya berpamitan pulang. Dengan wajah penuh
senyuman, Aisyah dan Ibunya mengantarkan tamunya sampai di depan rumah.
Entah apa yang ada dalam hati Aisyah. Apakah dia akan menerima lamaran
Yusuf atau tetap menanti Kholis pulang.
Tiga bulan lagi adalah waktu yang
dijanjikan Kholis untuk memenuhi semua syarat yang telah ditentukan oleh
ayah Aisyah dulu. Mungkin karena itulah saat ini Aisyah merasa gelisah.
Aisyah baru saja shalat berjamaah dengan
ibunya. Lalu dia pun mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya kepada
ibunya. “Bu, bukankah Aisyah sudah menjalin hubungan dengan Kholis. Apa
yang akan terjadi dengan Kholis bila Aisyah menerima pinangan Yusuf?”
“Aisyah, usia kamu sekarang sudah 23
tahun, bagi perempuan itu adalah usia yang sudah terlambat untuk
menikah. Mestinya kamu sudah menikah empat tahun yang lalu. Lagian ibu
sudah ingin sekali menimang cucu.”
“Tapi tiga bulan lagi Kholis akan pulang Bu, dan dia akan segera melamar Aisyah.”
“Aisyah, lihatlah Yusuf, dia ganteng,
kaya, juga pintar, lulusan Pondok Sarang juga lho, apalagi sekarang dia
juga sudah menempuh S2 di Jakarta. Kurang apa coba? Ingat ya Nduk, kamu
diberi kesempatan dua hari untuk memikirkannya, ibu harap kamu juga
menggunakan logika dalam menentukannya, selain dengan hati,” lanjut
ibunya.
Pada detik-detik akhir dia harus memilih,
akhirnya dia pun membuat keputusan, bahwa dia menerima lamaran Yusuf.
Ibunya yang memang menunggu jawaban seperti itu, sontak gembira dan
segera menelepon Bu Siti Rukayah, ibu Yusuf.
Seminggu setelah itu, tepat di malam
Minggu, Pak Zainuddin dan keluarganya kembali bertamu ke rumah Aisyah,
untuk menentukan tanggal pernikahan mereka. Aneka hidangan dan kue telah
tersaji di meja ruang keluarga. Sedangkan di ruang tamu, hanya ada
minuman dan camilan. Sesekali gurauan hangat lahir di tengah percakapan
mereka.
“Assalamu’alaikum,” tiba-tiba datanglah seorang tamu lagi ke rumah Aisyah.
“Wa’alaikum Salam,” semua pun menjawab salam itu.
“Kholis?!” kata Aisyah terperanjat.
Sekejap dia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Dan Kholis pun belum
mengerti apa yang sedang terjadi. Ibu Aisyah segera mempersilahkan
Kholis untuk duduk.
Saat itu Kholis datang dengan mengenakan
atasan koko dan bawahan sarung. Di usianya yang sekarang dia sudah
nampak dewasa sekali. Wajahnya yang meski tidak berkulit putih, namun
terlihat cerah sekali. Pandangan matanya yang teduh dan senyumnya pun
bersahabat.
Ibu Aisyah sebenarnya juga bingung, tak
tahu bagaimana nanti dia menjelaskan semuanya kepada Kholis. Satu
persatu Kholis juga menyalami tamu yang ada di rumah itu, Bapak
Zainuddin sekeluarga yang juga tidak mengerti tentang apa yang tengah
terjadi, membuka perbincangan dengan Kholis. Ngobrol ngalor ngidul
hanya untuk mengisi keheningan. Dan Kholis pun bisa mengikuti
pembicaraan dengan baik. Ditambah lagi dengan sopan santunnya, Pak
Zainuddin pun menaruh simpati pada Kholis.
Tak lupa juga Yusuf juga ikut nimbrung
dalam pembicaraan antara ayahnya dengan Kholis. Dan dari apa yang
dibicarakan, Yusuf menilai bahwa Kholis memiliki ilmu agama yang luas,
bahkan ketika diajak berbicara tentang hal-hal yang lainnya, Kholis pun
bisa menyambung. Karenanya Yusuf pun tak kuat untuk tidak menanyakan
dimana Kholis sekarang melanjutkan studinya.
“Kalau boleh tahu dimana kuliah Mas Kholis ini sekarang?” tanya Yusuf.
“Saya tidak kuliah Mas, bahkan saya hanya
lulusan MTs. Karena setelah lulus MTs saya langsung masuk ke pondok
pesantren yang ada di Kendal.” Yusuf dan Pak Zainuddin pun terperanjat
dengan jawaban dari Kholis.
“Kalau masalah Tafsir, Hadits dan Bahasa
Arab, saya yakin Nak Kholis ini sudah sangat mahir. Lalu yang saya heran
itu, dari mana Nak Kholis ini mempelajari tentang ekonomi, Khususnya
marketing. Nampaknya Nak Kholis ini juga paham betul akan hal ini?”
Tanya Pak Zainuddin.
“Ah, Bapak ini bisa saja, saya masih
miskin ilmu Pak, masih terlalu sedikit yang saya tahu tentang apapun,
kalau mas Yusuf ini, saya sudah pasti percaya,” jawab Kholis.
Sementara itu, Aisyah dan Ibunya masih
sibuk menata tempat untuk makan malam di ruang tengah. Kholis dan Pak
Zainuddin makin hangat dalam mengobrol.
“Ngomong-ngomong, Pak Zainuddin ini rumahnya mana?” tanya Kholis.
“Emm.. Rumah saya Cepu, Jawa Tengah, tapi
yang paling timur. Alhamdulillah, anak saya ini akan menikah dengan
Aisyah. Ibu Aisyah adalah teman dari istri saya dulu waktu masih
sama-sama di pesantren, dan dengan perjodohan ini, insya Allah akan
makin mempererat hubungan keluarga.”
Kholis tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Dia mencoba memastikan sekali lagi.
“Jadi Bapak akan berbesanan dengan Ibu Aisyah?” tanya Kholis.
“Iya Nak Kholis, besok saya harap Nak Kholis bisa hadir ya di acara pernikahan mereka?” jawab Pak Zainuddin.
Hancurlah berkeping-keping perasaan
Kholis setelah mendengar jawaban Pak Zainuddin, kedua bola matanya
berkaca-kaca, seperti hendak menumpahkan air mata. Apa yang telah
dilakukan oleh Aisyah? Mengapa dia tega sekali kepada saya? Apakah dia
lupa dengan janji kita berdua? Seribu tanya lahir di dalam benak yang
tengah hancur berkeping-keping itu.
Sedangkah Kholis sudah bertahun-tahun
berusaha untuk memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh Ayah Aisyah.
Tapi Kholis tetaplah Kholis, yang tetap bisa menguasai diri meski pada
saat seperti itu. Dan dia tidak mau merusak acara keluarga mereka pada
malam itu. Dia pun berpamitan kepada Ibu Aisyah.
“Saya mohon pamit dulu Ibu, oh ya Aisyahnya mana Bu?”Kholis berpamitan.
“Oh, Itu... Aisyah sedang di kamar mandi.”Jawab ibu Aisyah.
“O.. Ya sudah Bu, saya mohon pamit dulu, titip salam saja ya Bu buat Aisyah, Assalamu’alaikum.”
Kholis segera menstater motornya dan
menyusuri jalan perkotaan di Bojonegoro. Tak jelas kemana tujuan Kholis.
Kalau dia mau pulang, mestinya dia langsung menuju ke arah barat
sewaktu dari rumah Aisyah tadi. Tapi kini dia ke timur, lalu belok ke
utara, hingga sampai di alun-alun Kota Bojonegoro.
Di dalam perjalanan dia berusaha sekuat
mungkin untuk menguasai perasaannya, dan mencoba menafikan apa yang
sedang dia rasakan saat ini. Impian yang sudah dia bangun sejak tujuh
tahun yang lalu telah lenyap begitu saja.
Disana, di alun-alun Bojonegoro banyak
sekali Pedagang Kaki Lima yang berjualan. Akhirnya dia memutuskan untuk
berhenti di salah satu penjualnya. Dia memilih warung yang tidak banyak
pengunjungnya, karena dia ingin tempat yang sepi. Tepatnya di sisi
selatan alun-alun bagian timur. Tempat itu agak gelap, karena hanya
diterangi oleh lampu jalan. Setelah memesan secangkir kopi, dia duduk
bersandar, mengahadap ke jalan.
Tiba-tiba dia tak mampu lagi membendung
air mata yang sejak tadi ingin tumpah. Menangislah dia, menangis
sejadi-jadinya. Meraung keras sekali dan tak peduli dengan sekitar.
Seakan dia ingin menumpahkan segala rasa sakit hati yang dirasakannya.
Tidak dengan memelankan suaranya, atau usaha lain agar tangisnya
tertutupi. Dia sudah tak mampu lagi untuk memikirkan hal itu. Semakin
dia ingin menghentikan tangisnya, maka tangisnya pun kian meledak.
Penjual kopi itupun bingung melihat apa yang terjadi dengan Kholis itu.
Kopi yang sudah jadi dari tadi, urung dia berikan, karena Kholis masih
menangis, tak sadarkan diri. Hingga ketika tangis Kholis sudah terhenti,
barulah ia menyodorkan kopi itu padanya.
Tujuh tahun Kholis menahan rindu, tujuh
tahun yang tidak sebentar, tujuh tahun yang setiap harinya tak berjalan
tanpa ada nama Aisyah, Tujuh tahun yang setiap jamnya adalah tentang
Aisyah, dan tujuh tahun yang setiap menitnya berdetik nama Aisyah. Kini
semua hilang dalam sekejap. Tak ada lagi mimpi tak ada lagi harapan.
Kholis merasa hidup ini tiada arti lagi.
Bila cinta itu bintang
Tak kan pernah dia menghilang, meski awan menghalang
Bila cinta itu matahari
Tak kan pernah padam sinarnya, meski malam memisahkannya
Bila cinta itu samudra,
Tak kan lelah kita mengarunginya, meski dengan berenang
Dituangkannya kopi dalam cangkir itu ke lepek. Serpppppp...
Kholis sangat akrab sekali dengan minuman itu sejak dia tinggal di
pesantren. Sebungkus rokok di sakunya masih cukup untuk menemaninya
semalam ini. Sedikit demi sedikit hatinya agak tenang, seiring dengan
selepek demi selepek kopi yang ia minum, dan perasaannya menjadi lebih
baik, ketika hisapan demi hisapan rokok dia hembuskan. Dalam diam
secangkir kopi itu seolah berkata kepada dirinya:
“Hai pemuda, kaukah pemuda, yang begitu mudah rapuh karena perempuan?
Hai Santri, Kaukah santri, yang begitu rapuh menghadapi takdir? Tak percayakah Engkau pada takdir-Nya?
Hai Pencinta, Kaukah pencinta? Yang
hanya memikirkan kehendak hati sendiri, tidakkah kau melihat, mungkin
dia akan lebih bahagia bila hidup dengan pemuda itu dari pada dengan
kamu?
Atau bagaimana ku harus memanggilmu?
Renungkan dan rasakanlah, sebenarnya
telah kau dapatkan cinta yang jauh lebih besar dari apa yang kau
harapkan. Allah mencintaimu, karenanya Allah membuatmu menjadi seperti
yang sekarang ini, yang seorang hafidz, juga orang yang mengerti ilmu
agama dengan mendalam. Tidakkah kau rasakan itu sebagai cinta. Maka cintailah Sang Kholiq dan semua yang dicintai-Nya. Hiduplah karena cinta-Nya. Dimana semua yang kau lakukan adalah wujud dari cintamu kepada-Nya.”
Dering ponselnya yang sedari tadi
berbunyi baru bisa menyadarkan lamunannya, setelah berbunyi untuk ke dua
kalinya. Oh, ternyata dari temannya di pesantren.
“Assalamu’alaikum...”
“Waalaikumsalam warohmatullah, ada apa Kang?”
“Kamu ditimbali Yai, diutus untuk segera kembali ke pesantren, ada yang mau dibicarakan dengan kamu, penting!!”
“Baik Kang.”
Diapun segera kembali ke pesantren. Tak
butuh waktu lama untuk sampai di pesantren, karena jaraknya memang tidak
terlalu jauh. Selain karena dekat, dia juga memacu kencang motornya
karena harus segera sowan pada Kyai. Kata-kata kata “penting” yang dia dengar di telephone tadi, rupanya menyita pikirannya. Ada apakah gerangan?
Setelah dia memarkir motornya, bergegas dia menuju ke ndalem.
Kebetulan saat itu, Kyai sedang ada tamu, jadi dia bila langsung
menemuinya. Satu orang seumuran Kyai, dan dua orang yang kira-kira
umurnya sedikit di bawah Kholis.
“Assalamu’alaikum,” dia berdiri membungkukkan badannya di depan pintu.
“Wa’alaikum salam, sini cung sini!” kata Pak Kyai. Setelah menyalami Pak Kyai dan beberapa tamu di sana, dia segera mengambil tempat yang masih longgar.
“Pak Ghofur, inilah anak yang saya
maksud,” kata Pak Kyai kepada tamunya sambil menunjuk ke arah Kholis.
Pak Ghofur menoleh ke arah Kholis. “Terserah Pak Ghofur, mau diapakan
anak ini nanti,” lanjut Pak Kyai.
Kholis tak mengerti maksud Kyai dan tamu
itu. Dia hanya menundukkan kepalanya saja. Sedangkah hatinya mencoba
menebak-nebak tentang apa yang sedang terjadi.
“Baiklah Pak Kyai, apakah nanti bisa
langsung kami bawa ke rumah? Ha ha ha,” Pak Ghofur tertawa lepas,
karena dia sebenarnya adalah teman Pak Kyai ketika masih nyantri di
Pasuruan. Jadi sudah terbiasa bercanda dengan Pak Kyai. Pak Kyai pun
tertawa mendengar pertanyaan Pak Ghofur. Kholis pun kian bertanya-tanya
siapa Pak Ghofur ini, dan apa keperluan dengannya?
“Bisa bisa... Semua saya serahkan sama
Pak Ghofur sajalah,” Pak Kyai beranjak berdiri, sebelum masuk ke rumah
belakang beliau menatap Kholis. “Lis, sekarang kemasi semua pakaian dan
kitab-kitabmu, setelah itu bawa semuanya ke sini!” Kholis yang seorang
santri, tidak berada pada kepatutannya untuk bertanya “untuk apa?” pada
Kyai. Dia segera melaksanakan apa yang sudah diperintahkan Kyai padanya.
Satu tas besar dan dua kardus telah dia bawa di teras ndalem.
Dia kembali masuk ke dalam. Belum lama dia duduk, Pak Ghofur sudah
pamit mengundurkan diri. “Kholis, sekarang kamu ikut Pak Ghofur. Ada
yang perlu kamu selesaikan bersama beliau nanti,” kata Pak Kyai sambil
memberikan sebuah amplop pada Kholis.
“Injih Yai,” Kholis bersalaman, mencium
punggung dan telapak tangan Yai penuh takdzim. Kholis pun mengikuti
langkah Pak Ghofur menghampiri mobil yang terparkir di halaman
pesantren. Barang bawaannya telah terlebih dulu di bawa dua anak tadi ke
dalam mobil. Pak Ghofur pun membukakan pintu mobil bagian depan untuk
Kholis. Tentu saja itu membuat Kholis merasa tak pantas. Tapi dia
mengikuti saja perlakuan itu. Seribu tanya sudah cukup memenuhi
pikirannya saat itu.
Sebelum mobil berjalan, dia menyempatkan
diri melihat ke arah asrama. Beberapa temannya berdiri di depan asrama
melepas kepergiannya. Dan mobil itu pun membawanya pergi ke tempat yang
dia sendiri belum tahu.
“Kalau gus Kholis sedang capek, monggo
tidur dulu nggak papa,” kata Pak Ghofur setelah membelokkan mobilnya ke
arah barat ketika sampai di perempatan jetak. Sebenarnya kata gus di
depan namanya tadi meninggalkan tanya juga dalam benaknya. Tapi dia juga
tak berani bertanya, karena Pak Ghofur adalah teman Pak Kyai. Baginya
itu adalah sikap yang kurang sopan. Apalagi untuk bertanya kemana mereka
akan pergi.
Ketika dia terbangun dari tidurnya, mobil
yang membawanya pergi ternyata sudah memasuki area pesantren. Di papan
nama yang dia lihat di sisi kanan gapura, dia mengetahui bahwa ini
adalah Pondok Pesantren Al-Fattah Blora Jawa Tengah.
Pak Ghofur membawanya ke kamar yang telah
disediakan khusus untuknya. Kamar VIP yang cukup luas. Di dalamnya
sudah ada kamar mandi berikut handuk yang sudah siap pakai. Di salah
satu sudutnya juga telah ada kulkas yang di dalamnya terdapat banyak
minuman dan buah-buahan.
“Ini kamar njenengan untuk semestara Gus,
silahkan kalau mau mandi dulu ataupun shalat, saya mau matur ke Pak
Kyai dulu,” kata Pak Ghofur.
“Iya Pak,”
“Oya Gus, nanti kalau butuh sesuatu
jangan sungkan-sungkan untuk sms atau telphone saya ya? Ini nomer HP
saya,” kata Pak Ghofur sambil memberikan secarik kertas bertuliskan
nomor hand phone.
“Iya Pak,”
Kholis segera menutup kamar. Dia pun
segera mandi dan shalat Isya’ yang belum dia tunaikan. Terdengar suara
ketukan di pintu kamarnya. Dia pun segera membukakan pintunya. Ternyata
dua santri sedang mengantarkan makanan untuknya. Merasa mendapatkan
perlakuan yang berlebihan dan menumpuknya ribuan tanya dalam hatinya,
dia memutuskan untuk segera mencari jawaban atas semuanya. Dia nekad
menelephone Pak Ghofur dan memintanya datang ke kamar.
“Jadi begini Gus, Pak Kyai Muhaimin,
pengasuh pesantren ini, adalah teman baik Pak Kyai njenengan di
Bojonegoro, Pak Kyai Hamid. Pak Kyai Muhaimin minta tolong kepada Pak
Kyai Hamid untuk mencarikan suami bagi putrinya. Dan njenenganlah yang
dipilihkan oleh Pak Kyai Hamid,” kata Pak Ghofur menjelaskan semua
pertanyaan Kholis.
Antara setengah percaya dan tidak, dia
kemudian berdiri mengambil amplop yang tadi diberikan oleh Pak Kyai
Hamid. Di dalam amplop itu berisi uang satu juta dan secarik kertas yang
bertuliskan:
Barakallahu laka wa baraka ‘alaikuma,
wa jama’a bainakuma fi khair. Nikahilah putri Kyai Muhaimin, jadilah
imam yang baik baginya dan mengabdilah di sana dengan ikhlas. Uang ini
bisa kamu gunakan sebagai maharnya.
Abah.
“Subhanallah wal hamdu lillah, wa
laailaaha illa Allah, wallahu akbar.” Jiwanya bergetar membaca surat
itu. Dia segera sujud syukur, berterimakasih pada Allah yang telah
memberikannya karunia yang tak pernah terpikirkan olehnya. Dia kembali
menemui Pak Ghofur.
“Selamat ya Gus, besok akad nikah akan dilaksanakan pukul sembilan di mushalla,”
“Baik Pak,” Kholis menjabar erat tangan Pak Ghofur.
Esoknya akad nikah pun dilaksanakan
sesuai dengan rencana. Ning Aulina, calon istrinya, ternyata hanya
meminta dibacakan surat Ar-Rohman sebagai mahar pernikahannya. Pak Kyai
Muhaimin sendiri yang melaksanakan ijabnya. Dan setelah akad nikah
dilaksanakan, Kholis segera diberi kesempatan untuk memberikan maharnya.
Dia pun membacakan surat Ar-Rahman di tengah-tengah majlis itu.
Suaranya yang merdu, membacanya yang
fasih dan dengan lagu yang indah, membuat semua orang yang
mendengarkannya terharu. Apalagi Kholis adalah seorang hafidz. Ning
Aulina yang duduk di sampingnya tak berhenti menangis karena
mendengarkan ayat-ayat suci yang dibacakan khusus untuknya.
No comments:
Post a Comment