Sunday, January 26, 2014

Sang Pelukis Jaman


Malam akan segera terlepas dari kepingan waktu di depan mata itu. Namun rupanya ia enggan untuk beristirahat barang sejenak. Tak lelahkah ia berjaga. Padahal jarum pendek di jam dinding seusia dirinya itu sudah menyelesaikan satu putaran? Bahkan lebih. Apakah gerangan yang ingin dilihat oleh mata itu?
Tentu bukan El Classico, karena baru saja tayang dini hari kemarin. MotoGP? Bukankah ini baru hari Selasa? Tentu masih lima hari lagi untuk bisa melihatnya. Tak mungkinlah bila mata itu sudah menantinya sejak kini.
Angin kemarau mengisi kesunyian malam ini. Menerabas dedauanan yang dilewatinya. Pemilik mata itu mulai menggigil kedinginan. Seperti biasa, kemarau selalu datang dengan segala nuansanya. Siang harinya yang begitu terik, dan malam yang begitu dingin.
Di sebuah kursi di teras rumahnya, ia tak sadar telah duduk di sana selama berjam-jam. Secangkir kopi dan sebungkus rokok kretek masih memberikan dukungan penuh padanya untuk tetap terjaga malam ini. Apakah gerangan yang menjadi beban pikirannya? Tatapan matanya seperti mengarah pada dedaunan yang bergoyang menari, padahal sejatinya tak ada fokus pada tatapannya. Menerawang kelam karena tersatiri oleh hatinya yang sedang gelap.
Ia sedikit merasa tenang, ketika istrinya sudah terlelap. Dia tak perlu lagi susah-susah mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan istrinya. Bukan karena ia tak tau jawabnya. Hanya saja tak mungkin ia menjawabnya dengan jawaban yang semestinya. Atau istrinya akan blingsatan seperti orang kerasukan setan, dan klimaksnya ia akan pingsan. Memang begitu yang terjadi sebelum-sebelumnya.
Dari lubang bekas sobekan kecil di sudut bungkus rokok itu, ia mengeluarkan sebatangnya lagi. Pemantik api menyala, membakar ujung batang kretek di mulutnya.  Tak lama kepulan asap keluar dari mulut dan kedua lubang hidungnya. Dan tak lama juga asap itu menghilang ditebas angin. Sejenak dia menertawai asap itu. Kalau saja beban hati dan pikiran seperti asap-asap itu, tentu tak perlu ada orang stres, gila atau tentu bunuh diri di bumi ini.
Malam ini, di saat tubuhnya yang menggigil, jauh di dalamnya terdapat jiwa yang sedang terguncang. Hatinya pun telah sedemikian pengapnya. Hingga kedua matanya tak sanggup lagi menerjemahkannya menjadi setetes air mata. Hanya seperti gerahnya bumi yang terbungkus awan, namun tak kunjung turun menjadi hujan.
“Bapak...!” Ia tergeragap mendengar istrinya memanggil. Ia bergegas menemui istrinya di kamar, lalu menggenggam jemari istrinya. “Apa anak kita sudah pulang, Pak?” suara serak istrinya diikuti air mata yang tiba-tiba menetes.
“Belum, Bu’, ini Bapak dari tadi masih menunggunya di luar,” tangan kanannya mengusap pipi istrinya yang basah. “Tidurlah! Biar bapak sendiri yang menanti kepulangan  anak kita.” Sudah lima hari ini, istrinya selalu menanyakan hal sama padanya.
“Ikut...” istrinya merengek. Tubuhnya yang tadi berbaring kini beranjak duduk. Matanya sembab kemerahan, rambutnya berantakan dan wajahnya, ah, sudah lima hari ini pula tak ada sepercik air pun yang membasahinya.
Suman akan mengusut tuntas, bila ia sampai mendengar ada orang yang menyebut istrinya itu gila. Seperti yang ia lakukan dua hari yang lalu. Ia berlari memburu salah seorang tetangganya, dengan arit di tangannya, karena menduga tetangganya itu pernah berkata “istri Suman Gila”. Untung ada yang berhasil meredam kekalutan hatinya itu.
“Tidur sajalah! Kau pasti capek sekali kan?”
“Tidak! Tidak!” istrinya memelototinya. Ia mengeratkan genggaman tangannya. “Tidak. Aku akan masak makanan kesukaannya saja, biar nanti ketika anak kita sudah sampai, ia bisa langsung makan,” ucap istrinya kembali melunak.
Tapi tidak baginya. Hatinya kian getir melihat sikap istrinya yang seperti itu. Suman ingin sekali menyadarkan istrinya. Tapi ia juga khawatir bila nanti istrinya kembali berteriak-teriak, marah, dan seperti biasanya pasti diakhiri dengan hilangnya kesadaran. Pingsan. Ia selalu gagal menyatakan sebuah kenyataan pada istrinya itu.
“Istriku, kenapa tidak besok saja? Belum tentu juga anak kita akan pulang malam hari ini!”
“Bagaimana kalau ia datang malam ini, terus perutnya sedang lapar, apa Bapak ndak kasihan?” nadanya sudah mulai meninggi lagi. Suman hanya menghela nafas dalam-dalam. Membiarkan istrinya yang tergesa ke dapur.
“Bapak, tolong kamarnya dibersihkan, supaya kalau dia bisa segera istirahat nanti, tentu dia capek sekali, Pak!” suara istrinya di antara suara hiruk pikuk suara peralatan dapur. Aroma bumbu masakan yang memang kesukaan anaknya juga telah sampai di penciumannya.
Nafasnya sengal. Seperti ada sekepal batu yang tiba-tiba bersarang di hatinya. Pandangan matanya tiba-tiba mengabur, saat bulir-bulir kepedihan telah sampai di kelopak matanya. Ia berjalan menghampiri istrinya. Kedua tangannya melingkari tubuh istrinya dari belakang. Tangisnya meraung di tengah nafasnya yang sengal.
“Anak kita sudah tiada sayang... Anak kita sudah mati...!!” parau suaranya berusaha menggugah kesadaran istrinya.
“Tidak!!!” teriak istrinya sambil melepaskan dekapan tangannya.
“Iya!”
“Tidak!!” matanya melotot.
“Iya!!”
“Tidak!!!”
“Iya!!!! Sayang.. Anak kita sudah meninggal dunia. Terimalah kenyataan ini!! anak kita sudah mati bunuh diri!” Ia diam sejenak dan kembali merengkuh istrinya. Sudah bagus istrinya tak lagi pingsan malam ini. Ia berharap besar istrinya bisa menerima kenyataan ini sebagai takdir Tuhan.
“Sayang, semua yang ada di bumi ini adalah milik Allah, dan semua akan kembali padanya...! Kematian itu adalah sebuah keniscayaan. Semua orang pasti akan mati. Sekarang anak kita yang mati, dan suatu saat kita pasti juga akan menyusulnya...,” kini istrinya menangis. Hatinya sedikit terbuka untuk mencoba memahami kenyataan ini. “Jiwa dan raga ini juga milik Allah, suatu saat Dia akan mengambilnya kembali, kau tau itu kan? Anak kita telah tiada, Sayang.” Tangis istrinya tumpah ruah di dadanya, pertanda bahwa dia telah menerima kepergian anaknya itu, meski dengan cara yang tak biasa.
Tak biasa? Iya, tak biasa. Dan karena mati dengan cara yang tak biasa itu, dalam hatinya masih tersimpan duka dan sesal yang mendalam. Anak satu-satunya itu telah bunuh diri dengan cara menceburkan diri ke bengawan, setelah seseorang yang dia sebut belahan jiwanya, dan atas nama cinta, katanya, menanggalkan mahkota kegadisannya. Tak lama pacarnya meninggalkannya begitu saja.
Malam sebelum kejadian itu, ia telah menumpahkan semua amarah pada anaknya itu. Dia menyangka, pasti itu yang membuat esok harinya anaknya tak kembali pulang hingga saat ini. Sesalnya tentu tak berarti apa-apa di depan kenyataan ini.
Suman berlari melabrak zaman. “Aku sudah terlalu sering menjadi kambing hitam, bukankah engkau dan teman-temanmulah yang tak mampu menjawab tantanganku? Bukankah kau juga turut bertanggung jawab atas semua perubahan zaman?” zaman balik bertanya padanya.
Suman menyesali sikapnya yang telah menumpahkan semua kesalahan pada anaknya, yang sebenarnya kesalahan besar justru ada padanya. Adakah sebuah lukisan yang bersalah, sedangkan dulu ia masih putih bersih? Ataukah pihak lain seperti kanvas yang lebih patut disalahkan? Ataukah justru sang pelukis yang tak sanggup untuk menggoreskan tintanya dengan baik?

No comments:

Post a Comment