Malam akan segera terlepas dari kepingan waktu di
depan mata itu. Namun rupanya ia enggan untuk beristirahat barang sejenak. Tak
lelahkah ia berjaga. Padahal jarum pendek di jam dinding seusia dirinya itu
sudah menyelesaikan satu putaran? Bahkan lebih. Apakah gerangan yang ingin
dilihat oleh mata itu?
Tentu bukan El Classico, karena baru saja tayang
dini hari kemarin. MotoGP? Bukankah ini baru hari Selasa? Tentu masih lima hari
lagi untuk bisa melihatnya. Tak mungkinlah bila mata itu sudah menantinya sejak
kini.
Angin kemarau mengisi kesunyian malam ini. Menerabas
dedauanan yang dilewatinya. Pemilik mata itu mulai menggigil kedinginan. Seperti
biasa, kemarau selalu datang dengan segala nuansanya. Siang harinya yang begitu
terik, dan malam yang begitu dingin.
Di sebuah kursi di teras rumahnya, ia tak sadar
telah duduk di sana selama berjam-jam. Secangkir kopi dan sebungkus rokok
kretek masih memberikan dukungan penuh padanya untuk tetap terjaga malam ini. Apakah
gerangan yang menjadi beban pikirannya? Tatapan matanya seperti mengarah pada
dedaunan yang bergoyang menari, padahal sejatinya tak ada fokus pada
tatapannya. Menerawang kelam karena tersatiri oleh hatinya yang sedang gelap.
Ia sedikit merasa tenang, ketika istrinya sudah
terlelap. Dia tak perlu lagi susah-susah mencari jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan istrinya. Bukan karena ia tak tau jawabnya. Hanya saja
tak mungkin ia menjawabnya dengan jawaban yang semestinya. Atau istrinya akan
blingsatan seperti orang kerasukan setan, dan klimaksnya ia akan pingsan.
Memang begitu yang terjadi sebelum-sebelumnya.
Dari lubang bekas sobekan kecil di sudut bungkus
rokok itu, ia mengeluarkan sebatangnya lagi. Pemantik api menyala, membakar ujung
batang kretek di mulutnya. Tak lama
kepulan asap keluar dari mulut dan kedua lubang hidungnya. Dan tak lama juga
asap itu menghilang ditebas angin. Sejenak dia menertawai asap itu. Kalau saja
beban hati dan pikiran seperti asap-asap itu, tentu tak perlu ada orang stres,
gila atau tentu bunuh diri di bumi ini.
Malam ini, di saat tubuhnya yang menggigil, jauh di
dalamnya terdapat jiwa yang sedang terguncang. Hatinya pun telah sedemikian pengapnya.
Hingga kedua matanya tak sanggup lagi menerjemahkannya menjadi setetes air
mata. Hanya seperti gerahnya bumi yang terbungkus awan, namun tak kunjung turun
menjadi hujan.
“Bapak...!” Ia tergeragap mendengar istrinya
memanggil. Ia bergegas menemui istrinya di kamar, lalu menggenggam jemari
istrinya. “Apa anak kita sudah pulang, Pak?” suara serak istrinya diikuti air
mata yang tiba-tiba menetes.
“Belum, Bu’, ini Bapak dari tadi masih menunggunya
di luar,” tangan kanannya mengusap pipi istrinya yang basah. “Tidurlah! Biar
bapak sendiri yang menanti kepulangan anak
kita.” Sudah lima hari ini, istrinya selalu menanyakan hal sama padanya.
“Ikut...” istrinya merengek. Tubuhnya yang tadi
berbaring kini beranjak duduk. Matanya sembab kemerahan, rambutnya berantakan
dan wajahnya, ah, sudah lima hari ini pula tak ada sepercik air pun yang
membasahinya.
Suman akan mengusut tuntas, bila ia sampai mendengar
ada orang yang menyebut istrinya itu gila. Seperti yang ia lakukan dua hari
yang lalu. Ia berlari memburu salah seorang tetangganya, dengan arit di
tangannya, karena menduga tetangganya itu pernah berkata “istri Suman Gila”.
Untung ada yang berhasil meredam kekalutan hatinya itu.
“Tidur sajalah! Kau pasti capek sekali kan?”
“Tidak! Tidak!” istrinya memelototinya. Ia
mengeratkan genggaman tangannya. “Tidak. Aku akan masak makanan kesukaannya
saja, biar nanti ketika anak kita sudah sampai, ia bisa langsung makan,” ucap
istrinya kembali melunak.
Tapi tidak baginya. Hatinya kian getir melihat
sikap istrinya yang seperti itu. Suman ingin sekali menyadarkan istrinya. Tapi
ia juga khawatir bila nanti istrinya kembali berteriak-teriak, marah, dan
seperti biasanya pasti diakhiri dengan hilangnya kesadaran. Pingsan. Ia selalu
gagal menyatakan sebuah kenyataan pada istrinya itu.
“Istriku, kenapa tidak besok saja? Belum tentu juga
anak kita akan pulang malam hari ini!”
“Bagaimana kalau ia datang malam ini, terus
perutnya sedang lapar, apa Bapak ndak kasihan?” nadanya sudah mulai meninggi
lagi. Suman hanya menghela nafas dalam-dalam. Membiarkan istrinya yang tergesa ke
dapur.
“Bapak, tolong kamarnya dibersihkan, supaya kalau
dia bisa segera istirahat nanti, tentu dia capek sekali, Pak!” suara istrinya
di antara suara hiruk pikuk suara peralatan dapur. Aroma bumbu masakan yang
memang kesukaan anaknya juga telah sampai di penciumannya.
Nafasnya sengal. Seperti ada sekepal batu yang tiba-tiba
bersarang di hatinya. Pandangan matanya tiba-tiba mengabur, saat bulir-bulir
kepedihan telah sampai di kelopak matanya. Ia berjalan menghampiri istrinya.
Kedua tangannya melingkari tubuh istrinya dari belakang. Tangisnya meraung di
tengah nafasnya yang sengal.
“Anak kita sudah tiada sayang... Anak kita sudah mati...!!”
parau suaranya berusaha menggugah kesadaran istrinya.
“Tidak!!!” teriak istrinya sambil melepaskan
dekapan tangannya.
“Iya!”
“Tidak!!” matanya melotot.
“Iya!!”
“Tidak!!!”
“Iya!!!! Sayang.. Anak kita sudah meninggal dunia. Terimalah
kenyataan ini!! anak kita sudah mati bunuh diri!” Ia diam sejenak dan kembali
merengkuh istrinya. Sudah bagus istrinya tak lagi pingsan malam ini. Ia
berharap besar istrinya bisa menerima kenyataan ini sebagai takdir Tuhan.
“Sayang, semua yang ada di bumi ini adalah milik Allah,
dan semua akan kembali padanya...! Kematian itu adalah sebuah keniscayaan. Semua
orang pasti akan mati. Sekarang anak kita yang mati, dan suatu saat kita pasti
juga akan menyusulnya...,” kini istrinya menangis. Hatinya sedikit terbuka
untuk mencoba memahami kenyataan ini. “Jiwa dan raga ini juga milik Allah,
suatu saat Dia akan mengambilnya kembali, kau tau itu kan? Anak kita telah
tiada, Sayang.” Tangis istrinya tumpah ruah di dadanya, pertanda bahwa dia
telah menerima kepergian anaknya itu, meski dengan cara yang tak biasa.
Tak biasa? Iya, tak biasa. Dan karena mati dengan
cara yang tak biasa itu, dalam hatinya masih tersimpan duka dan sesal yang
mendalam. Anak satu-satunya itu telah bunuh diri dengan cara menceburkan diri
ke bengawan, setelah seseorang yang dia sebut belahan jiwanya, dan atas nama
cinta, katanya, menanggalkan mahkota kegadisannya. Tak lama pacarnya
meninggalkannya begitu saja.
Malam sebelum kejadian itu, ia telah menumpahkan
semua amarah pada anaknya itu. Dia menyangka, pasti itu yang membuat esok
harinya anaknya tak kembali pulang hingga saat ini. Sesalnya tentu tak berarti
apa-apa di depan kenyataan ini.
Suman berlari melabrak zaman. “Aku sudah terlalu
sering menjadi kambing hitam, bukankah engkau dan teman-temanmulah yang tak
mampu menjawab tantanganku? Bukankah kau juga turut bertanggung jawab atas
semua perubahan zaman?” zaman balik bertanya padanya.
Suman menyesali sikapnya yang telah menumpahkan
semua kesalahan pada anaknya, yang sebenarnya kesalahan besar justru ada
padanya. Adakah sebuah lukisan yang bersalah, sedangkan dulu ia masih putih
bersih? Ataukah pihak lain seperti kanvas yang lebih patut disalahkan? Ataukah justru
sang pelukis yang tak sanggup untuk menggoreskan tintanya dengan baik?
No comments:
Post a Comment