Tragedi Bokong Maut
Duduk di teras rumah siang ini, aku masih belum bisa
menentukan, apakah aku akan berangkat kuliah atau tidak. Setelah kulihat
awan-awan hitam berarak-arakkan di langit desaku.
Kurasakan getaran di saku celanaku, bikin geli-geli gimana
gitu. Ternyata getaran itu berasal dari ponselku. Di layarnya tertulis Arman
Krempyeng memanggil.
“Gimana, Jon? Jadi kuliah gak??? Biasa, ntar aku mau nebeng
ma kamu,” kata Arman. Seperti biasa, kalau dia gak punya cukup duit untuk
berangkat kuliah pasti dia nebeng ma aku. Aku gak keberatan juga sih sebenarnya,
soalnya dia sohibku sejak masih di SMP dulu.
“Entah, saat ini aku masih sedang berpikir keras untuk
menentukan, apakah aku berangkat kuliah atau tidak,” jawabku sekenanya.
“Ya elah, Jon, emangnya kenapa?”
“Kamu sekarang lagi dimana?”
“Ya masih di rumah lah.”
“Iya tahu, maksudku
lagi di kamar apa di depan rumah?”
“Nih masih di kamar, tepatnya lagi milih-milih CD mana yang
akan kupakai hari ini, bisa bantu aku memilih yang mana?”
“Pakai aja yang warna pink, dasar sudrun, coba sekarang kamu
keluar rumah, lalu menghadap ke langit!” perintahku.
“Terus aku musti keluar rumah telanjang gitu?”
“Aaaaaaaaaaah, sekarang tu mau hujan dodol, liat aja
mendungnya!” Haduh, lemot bener tu anak ya?
“Ya elah, Jon, belum juga hujan kamu dah takut. Lagian hujan
air juga. Kalau hujan batu baru pantes takut... Lagian kita kan masih tergolong
mahasiswa baru, gak baik tau terlalu sering bolos!”
“Yah, sok tau lu. Ya udah tunggu aja di rumah! Nanti aku
jemput.”
“Ya elah, Jon, gayamu kayak orang Jakarta aja pakai lu gua
lu gua.”
“Biar gaul gitu lo, Man, mau dijemput gak?”
“Oke-oke Brother...”
“Ya udah cepet siap-siap sono!”
“Eh bentar-bentar, aku harus pakai CD yang mana nih?”
“CD emak kamu aja!” Blip. Ku pencet aja tu tombol stop.
Haduh, bicara ma Arman lima menit aja, udah bikin aku setresnya minta ampun.
Sebenarnya yang bikin aku malas berangkat kuliah itu jalan
yang wuih, ekstrem banget. Dari rumah, aku harus melewati jalan makadam,
berbatu dan juga licin. Setelah tiga km dari rumahku, aku baru akan bertemu
dengan jalan beraspal. Pernah suatu ketika aku batal berangkat kuliah gara-gara
aku terjatuh dari motorku, karena terpeleset. Padahal waktu itu ada ulangan
tengah semester di kampus. Esoknya kena semprot abis-abisan dari monster
kampus, Pak Badrun.
Nyampai di jalan beraspal bukan berarti aku sudah bisa
mengendarai motorku dengan aman dan lancar. Tapi aku harus belok kanan, belok
kiri – alhamdulillah tapi sampai saat ini belum pernah mundur – hanya untuk
menghindari lubang-lubang jalan yang tergenangi air hujan. Bila sedang sial,
bajuku akan basah kuyup ketika mobil atau motor yang berpapasan denganku
rodanya nyemplung ke lobang berair hujan itu, langsung deh nyiprat ke arahku.
Aku harus belok ke arah utara dulu untuk menemput si Arman Krempyeng
itu. Setelah itu balik arah ke arah selatan lagi untuk menuju ke pusat kota,
kota kecil, dimana kampusku berada. Jarak antara desaku dengan kota Bojonegoro
sekitar 30 km. Untuk menuju ke kampus, sejauh 8 km aku harus menyusuri jalan di
tengah hutan, dan pastinya dengan jalan yang berlubang pula. Sampai di kecamatan
berikutnya, Dander, aku baru akan melewati jalan yang mulus, meski sebanarnya
juga tak mulus-mulus amat. Kalau lewat jalur ini, dari Ngasem ke Dander, ini di
sebut jalur selatan. Sebenarnya aku bisa saja memilih jalur utara, yaitu
melewati Kecamatan Kalitidu, namun itu akan memakan waktu yang lebih lama lagi,
karena jaraknya lebih jauh.
Jalur utara ataupun selatan, masing-masing punya keuntungan
sendiri-sendiri. Kalau lewat jalur selatan, jaraknya lebih dekat, tapi jalannya
jelek. Sedangkan kalau lewat utara, jaraknya lebih jauh, tapi jalannya lumayan
bagus. Butuh waktu setidaknya 30 menit untuk sampai di kampus, itu bila
spedometer motor menunjuk ke arah 60km/jam. Kebayang kan, betapa pelosoknya
desa tempat aku tinggal.
***
Sampailah aku di rumah Arman. Kulihat dia sudah menanti
kedatanganku di depan rumah. Dengan dandanan khasnya, kemeja yang bahunya
dilipat sampai siku dan celana levis yang ketat. Wah, itu adalah penampilan
terbaik yang pernah dia miliki selama ini. Terbukti dia selalu dan selalu
memakai pakaian bermode seperti itu.
“Wah, lama banget sih, Jon?” cerocosnya menjemput
kedatanganku.
“Biasa, lalu lintas padat, soalnya kan musim hujan. Jadi
jalan raya ramai sekali dengan lalu lintas air” Dia segera melompat di belakangku.
“CABUUUUUUUUUUUUUUUUT!”
Motorku pun langsung berbalik arah menuju ke selatan, karena
hari ini aku memilih untuk lewat jalur selatan.
“Jadi CD siapa yang kamu pake Man?”
“Hehe, aku gak pakai CD, Soalnya aku gak bisa nentuin pilih
yang mana. Aku takut yang lain cemburu kalau aku pakai salah satu dari mereka.”
“Hahahaha, wih, jorok banget sih kamu gak pake CD, awas ya duduknya jangan
mepet-mepet ke bokongku lho, bisa jebol nanti celanaku Man.”
“Ye, kamu pikir aku ini gay apa?” jawabnya sambil menjitak
helmku. Ceplag.
***
Nyampai di kampus, aku tak langsung menuju ke kelas, seperti
biasa, warung kopi adalah tujuan utama. Tak seperti kampus beneran yang ada di
kota besar, di kampusku gak ada kantin. Yang ada adalah pedagang kaki lima yang
menjual kopi, di depan halaman kampus, di pinggir jalan raya.
Ngopi adalah kegiatan penting bagiku, juga Arman sebelum
mengikuti pelajaran di kelas. Di warung itu, kita membahas apa saja yang ada di
otak kita. Seperti yang kau tahu, mulai dari soal celana dalam, sampai dengan
soal perempuan. Terkadang juga mimpi-mimpi untuk mempunyai sebuah mobil impian.
haha, sebuah impian yang sangat berlebihan bagiku. Ciyus miyapa, seperti iklan
bilang, orang tinggal ngomong juga. Keturutan syukur, gak keturutan juga sudah
maklum.
“Ayo ke kelas Man, sekarang ada kelas Pak Badar lho, bisa
ancur nanti telingamu dengerin suara Pak Badar yang lagi marah.” Kataku
“Kamu tu bisa gak sih nyantai sedikit aja, pasti, gugup,
bingung plus takut. Padahal suasana masih aman terkendali. Untung kamu hidup di
jaman sekarang, gimana jadinya kalau kamu hidupnya di jaman Belanda, bisa kena
serangan jantung kamu Jon,”
“Ya udah, kalau kamu masih mau di sini, nongkrong aja di
sini, aku mau masuk,”
“Hahahahah, Jono... Jono...” Arman hanya menertawakanku, yah,
ku tinggal aja.
Sebenarnya aku ingin segera bertemu dengan Rina. Atau lebih
tepatnya sekedar melihat Rina. Karena aku belum pernah berani mendekatinya,
bahkan menyapanya saja aku belum berani. Dia baru semester satu, sedangkan aku
sekarang sudah semester tiga. Wajahnya yang manis dan tubuhnya yang mungil,
bikin hatiku langsung jatuh cinta padanya. Maklumlah, walau pun banyak teman
yang bilang aku ini OON, tapi Oon juga manusia, punya rasa punya hati, jangan
samakan dengan pisau belati. Aku menggumamkannya dalam hati, dengan nada persis
seperti candil yang lagi nyanyi lagu rocker juga manusia, haha.
Kelasku berada di deratan ruang yang menghadap ke utara.
Baru pada semester tiga ini, aku berani melewati teras-teras kelas ini. Karena
di teras ini, banyak sekali mereka yang lagi duduk-duduk di depan kelas. Uh,
rasanya seperti sedang berjalan di atas cat walk. Aku dulu selalu merasa semua
mata memandangku bila aku sedang berjalan di sana. Padahal siapa juga yang mau
melihatku, orang wajah dan penampilanku juga biasa-biasa saja. Tapi mungkin
itulah yang membuatku selalu tidak pede.
Arman seringkali mengejekku .”Badan aja kamu panjang lebar,
tapi nyali ciuut!” dan aku hanya bisa menjawabnya dengan kata “Hehe,” telak dan
tak bisa mengelak.
Semenjak menginjak semester tiga, kemaluanku makin mengecil.
Maksudku rasa maluku agak berkurang. Aku sudah berani melewati teras itu. Aku
sudah tak lagi berpikir semua mata melihatku. Bahkan aku sudah berani nongkrong
di depan kelas. Seperti hari ini, aku duduk-duduk di kursi yang ada di teras
depan kelas. Bila sedang beruntung, Rina akan lewat di depanku, jadi aku bisa
melihatnya dari jarak dekat. Bahkan semerbak parfumnya masih tercium, ketika
dia sudah memasuki kelasnya. Emmmmm wangi sekali.
Tapi bila sedang sial, aku tak mendapatinya lewat di
hadapanku. Yang ada hanya si Fatim gendut itu. Pasti dia akan melempar
senyum-senyum mentah ke arahku. Bila sudah begitu, akan pasti bawaannya pengen
muntah melulu. Maka ketika sudah tiba waktunya pulang, aku akan mencari Rina di
pinggir jalan raya, biasanya dia masih menunggu bis yang akan membawanya
pulang.
Bila sehari masuk kuliah, dan aku tak sekalipun melihat
wajah Rina, maka terasa sia-sia sekali perjalanan jauhku menuju ke kampus.
Tragedi Bokong Maut
Ayahku, termasuk orang yang terpandang di masyarakat, karena
beliau adalah seorang yang mengajar ngaji bagi anak-anak di kampungku. Ayahku
juga sering mengisi pengajian rutin di mushola-mushola. Kadang aku menyadari,
sudah selayaknya aku untuk menjaga nama baik ayahku. Tapi masa muda, sepertinya
lebih dominan untuk mengajakku melakukan hal-hal yang sedikit negatif.
Ketika aku masih duduk di bangku SMA, aku bahkan suka ngamen
ke kampung-kampung bersama teman-temanku. Ngamen, bagi kampungku adalah saat
itu masih merupakan sesuatu yang tabu. Suatu waktu ada tetangga yang melihatku
sedang ngamen. Dan ketika aku pulang, aku langsung disambut dengan acara inti,
ceramah pengajian umum dalam rangka memarahiku, dengan pembicara Bapak Kyai
Muanan. Aku tak membantah, tapi juga tak menghiraukan. Kenapa ayahku harus malu
karena aku ngamen? Saat itu aku belum bisa mengikuti jalan pikiran ayahku.
Aku juga suka sekali dengan otomotif. Meski aku tak paham
betul dengan mesin, yah, setidaknya aku bisa membersihkan karburator motorku
sendiri, bila dia sedang ngadat. Dan bila motorku pun sembuh dari ngadatnya,
wah aku bangganya minta ampun, seolah aku merasa sudah menjadi pakar otomotif.
Dan sebagai pasangan kegemaran otomotifku, aku seringkali uji kecepatan motor
dengan teman-temanku. Semacam balap liar.
Saat itu lawanku adalah Arifin. Aku dan dia sudah
bersiap-siap untuk tancap gas, menunggu sampai hitungan ke tiga. Belum sampai
pada hitungan ke tiga, Arifin sudah mencuri start, aku langsung menarik gasku
untuk segera mengejarnya. Dua ratus meter berjalan, di depan ada belokan, Aripin
mengerem motornya, sehingga aku bisa makin mendekatinya. Dan kali ini aku sudah
berada tepat di belakangnya, bersiap-siap untuk menyalipnya. Aku tau lima puluh
meter lagi akan ada belokan lagi. Aku tak peduli, kutarik kencang gas motorku
untuk menyalip Aripin. Dan aku berhasil menyalipnya sebelum belokan depan. Laju
motorku masih kencang ketika kubelokkan motorku, bahkan harus kumiriingkan
motorku agar aku bisa membelokkan motorku tanpa keluar jalur. Busyet, tiba-tiba
dari arah berlawanan ada truk yang melintas. Aku segera membanting setirku ke
sebelah kiri truk. Hampir saja aku menabrak truk itu. Berhasil menghindari
truk, tak berarti masalahku selesai, aku terperosok ke dalam parit, tapi tetap
kugeber motorku, karena aku tahu Aripin masih mengejar di belakangku. Kuarahkan
kembali motorku ke jalan raya, dan hampir saja Aripin menyerempet motorku. Dia
berhasil mendahuluiku. Segera ku tancap lagi gas motorku. Tapi sial, dia makin
melesat jauh meninggalkanku. Tapi aku masih mengejarnya. Kulihat di depanku
sedang ada cewek yang berjalan di pinggir jalan raya. Langkahnya yang seperti
pragawati, rambutnya yang panjang, terus di bawahnya ada bokong yang bahenol,
mentul-mentul serasi dengan langkahnya. Aku tak tau berapa lama mata mengarah ke
bokong itu. Tapi ketika ada satu belokan lagi di depan, aku sudah tak sempat
lagi membelokkan motorku. Motorku nyungsep ke parit dan aku terlempar ke sawah
yang baru saja ditanami padi.
Aku terkapar di sawah itu untuk beberapa saat. Aku tidak
pingsan, bahkan aku tidak mengalami cidera yang berarti. Karena sawahnya pada
waktu itu penuh dengan air hujan. Aku masih terlentang untuk beberapa saat, mencoba
memahami apa yang sedang saya lakukan.
Kudengar suara motor ipin berhenti di dipinggir jalan.
Ketika kuangkat kepalaku untuk melihatnya. Dia seperti tak percaya dengan yang
dilihatnya. Tubuhku dan juga wajahku belepotan sekali dengan tanah liat.
Tak selang lama kudengar suara , Ha ha ha ha ha ha ha
ha..... hah hah hah hahahah, dia terpingkal-pingkal tak henti-henti
menertawaiku.
Itu adalah tragedi bokong maut yang pertama. Gara-gara
mataku terpaut dengan bokong bahenol, nyungseplah aku ke persawahan.
Tragedi bokong yang ke dua adalah ketika aku akan masuk ke
sebuah toko, untuk membeli sesuatu, di depan toko sebelah kulihat ada seorang
cewek yang sedang mengisi bensin. Dia berdiri membelakangiku, seperti biasa
pandangan mataku langsung mengarah ke bokong. Dan kebetulan bokong cewek itu
juga lumayan bahenol. Untuk beberapa menit, mataku terpaku ke arah itu. Ketika
kurasakan ada tepukan di bahuku, kumenoleh ke belakang. Waduh, ternyata Pak
Syafi’i, guru agama di SMAku, juga hendak masuk ke toko itu, tapi terhalang
olehku yang sejak tadi berdiri di depan pintu. Beliau hanya geleng-geleng
kepala melihatku. Aduuuh, Malunya minta ampun deh rasanya, beliau melihatku
terpesona dengan bokong wanita. Aku hanya pasang muka meringis sambil menggeserbadanku
untuk memberi jalan pada Pak Syafi’. Aku kembali melihat wanita itu, dan ketika
dia menoleh, busyeeet, giginya tonggos ternyata. Sesalku pun mejadi-jadi.
Semoga bersambung...
No comments:
Post a Comment