Sunday, January 6, 2013

Kotak Pak Sukiman

Kotak Pak Sukiman
Matahari sudah terbenam satu jam yang lalu, namun pak Sukiman masih berada di gerdu, atau orang juga sering menyebutnya pos kampling di pinggir jalan, di sudut pertigaan di desa Dukohkidul. Bersama dengan rombong yang dia taruh di bagian belakang motor bututnya, yamaha tuju lima, dia berteduh di sana, setelah seharian tadi dia menjajakan penthol dagangannya berkeliling ke desa-desa di kecamatan Ngasem.
Hari memang sudah berganti malam, dan terang menghilang terbungkus gelap, di tambah dengan gemercik hujan yang turun sedari tadi, meski tidak begitu deras, namun bisa membuat tubuh pak Sukiman basah kuyup bila ia memaksa untuk pulang ke rumahnya. Selain karena itu, ia juga tidak nekad pulang karena tidak ada yang menantinya pulang di rumah.

Ia hidup sendiri sebatang kara, setelah istrinya, Saerah, pergi meninggalkan dirinya. Ditandai dengan percekcokan dengan istrinya di malam itu, Saerah memutuskan untuk pergi meninggalkan pak Sukiman. Saerah ingin mempunyai momongan, yang selama ini belum dia dapatkan. Dia menuduh Pak Sukiman lah yang mandul, lalu dia ingin menikah dengan orang lain yang mungkin bisa memberikan dia keturunan. Tapi sebenarnya itu adalah alasan yang ke berapa. Alasan sebenarnya adalah Saerah menuntut nafkah lebih banyak dari pak Sukiman yang hanya seorang penjual penthol. Saerah juga ingin perhiasan seperti yang dimiliki para tetangganya, yang memang memiliki rejeki lebih beruntung dibandingkan dengan pak Sukiman.

Pak Sukiman hanya bisa menarik nafas dalam-dalam, ketika istrinya minta dibelikannya perhiasan, gelanglah, kalunglah, cincinlah. Lalu dia memaki-maki pak Sukiman ketika pak Sukiman hanya bisa berdiam diri dengan permintaan istrinya itu. Hingga semua memuncak pada malam itu. Pak Sukiman tak diberikan kesempatan sedikitpun untuk bicara pada istrinya yang sedari tadi bicara, memaki, dan sesekali membanting benda-benda yang ada di sekitarnya. Pak Sukiman seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun niat itu gagal, setelah dia mendengar istrinya berkata padanya sambil menodongkan jari telunjuknya tepat di mukanya “Kami benar-benar laki tak tau diuntung, sudah kau dapatkan istri secantik aku, anaknya seorang pamong desa lagi, tapi kamu telah menyia-nyiakannya. Aku menyesal menerima pinanganmu dulu, ternyata kau tidak lebih dari seekor anjing yang menjijikkan.” Mata Pak Sukiman mendadak berkaca-kaca dan tak keluar sedikitpun kata-kata dari mulutnya. Saerah beranjak pergi, di depan rumah Saerah sudah ditunggu oleh seorang laki-laki agak tua, berbadan gemuk dan perutnya yang buncit yang sedang duduk di atas motornya, mega pro. Kejadian itu terjadi sudah sepuluh tahun yang lalu, ketika Pak Sukiman masih berusia 35 tahun dan Saerah 25 tahun.

“Pentholnya masih pak?” tanya seorang ibu-ibu membuyarkan lamunan Pak Sukiman.

“Masih bu, nih tinggal seharga lima ribu rupiah, ibu mau beli semua?”

“Ya, gak papa lah pak, saya beli semua,” jawab ibu itu.

Senanglah hati Pak Sukiman, karena hari ini dagangannya habis terjual. Seperginya pembeli itu, Pak Sukiman kembali melamun sambil memegangi sebuah kotak kecil yang selalu dia bawa kemana pun ia pergi. Hingga hujan telah reda, dia beranjak pulang.

Diujung lorong masih ada pertigaan lagi, yang di sudutnya terdapat warung kopi. Banyak sekali orang yang suka ngopi disana, karena kopinya yang di kothok. Selain itu karena yang menjual kopi sangat cantik sekali, dan konon ia juga suka menjajakan tubuhnya pada pelanggannya. Tawanya yang manja selalu terdengar di telinga Pak Sukiman. Oh, tak karuan perasaannya tiap kali ia harus melewati warung itu.

Pak Sukiman selalu enggan untuk melalui jalan itu, namun itu adalah satu-satunya akses jalan menuju rumahnya. Terpaksa dia harus melewatinya. Karena tiap kali dia melintas di depan warung itu, banyak suara-suara yang terdengar seperti menertawakan Pak Sukiman. Entah benar tidaknya, itu juga tak pernah diyakini oleh Pak Sukiman. Namun ia selalu merasa begitu. Ketika mereka tertawa dan berbicara seolah semua tentang Pak Sukiman.

Begitulah setiap hari ia menjalani kehidupannya. Setelah subuh ia mulai membuat pentholnya, tak perlu daging, karena pentholnya hanya terbuat dari tepung terigu. Tak seperti bakso pada umumnya yang terbuat dari daging. Namun penthol buatan Pak Sukiman memiliki rasa yang khas, karena ia bisa membuat saus yang begitu enak. Karena itulah pentholnya selalu habis setiap hari.

Malam ini tak seperti biasanya, warung itu sepi. Hanya terlihat sekitar tiga orang saja di sana. Tak ada tawa, tak ada canda, hanya ada tiga orang yang diam sambil menikmati secangkir kopi yang ada di depannya. Aroma tembakau jawa, lintingan sendiri tercium menusuk paru-paru. Terbesersit tanya dalam hati Pak Sukiman, ada apa dengan warung itu? Kenapa suasananya jauh dari biasanya. Tak ada motor-motor yang parkir di depan seperti biasanya. Tak ada tawa manja dari si penjual kopi itu lagi? Kemana perempuan itu? Beribu tanya terbersit tanya dalam hati Pak Sukiman. Tapi dia berusaha menepis semua tanya itu. Biarkan saja, toh saya tak perlu merasa tidak enak hati bila harus melewati warung itu.

Esok malamnya, Pak Sukiman mengira warung itu akan kembali ramai lagi, tapi ternyata masih sama dengan yang kemarin. Hingga seminggu berlalu, Pak Sukiman tak kuat menahan rasa ingin tahunya perihal apa yang sedang terjadi.

Dia nekad untuk mampir di warung itu, dan memesan sebuah kopi. Disana sudah ada dua orang laki-laki yang sedang menikmati kopinya.

“Ini pak kopinya” ucap perempuan tua sambil menyodorkan secangkir kopi. Dan Pak Sukiman pun memberanikan diri untuk bertanya.

“Kok hari-hari ini sepi sekali kenapa mbok?” tanyanya sambil mengeluarkan sebungkus rokok yang menyisakan tiga batang saja. Namun cukup untuk menemaninya hingga semalam ini.

“Ya iya mas sepi, orang si Mbak yu nya sekarang sudah tidak ada lagi, ibarat kata, bila gula tlah bersih, semut pun akan mencari ke tempat lain gitu” sahut seorang lelaki yang sudah duduk dari tadi.

“Maksudnya mbak yu siapa pak?” tanya Pak Sukiman.

Pembicaraan terus berjalan hingga Pak Sukiman tahu akan sesuatu yang selama ini ia sangka. Ternyata benar, penjual kopi itu adalah si Saerah. Mantan istrinya dulu. Ternyata dia disuruh oleh suaminya yang baru itu untuk menjajakan dirinya. Dia tidak bisa menolak, atau terkena pukulan kuat di wajah dan tubuhnya. Hingga lama kelamaan si Saerah sudah terbiasa dengan pekerjaannya itu, dan kini pun banyak sekali perhiasan emas yang menempel di telinga, leher dan ke dua tangannya.

Keinginannya kini sudah terkabul, begitu gumam Pak Sukiman dalam hati.

“Terus sekarang di mana Mbak Yu nya?” tanya Pak Sukiman lagi.

“Seminggu yang lalu, ada patroli ke sini, karena ada laporan warga. Akhirnya si Mbak yu dan suaminya di bawa ke Mapolsek. Dan kabar burungnya, dia sekarang sudah di bawa ke rutan yang ada di kabupaten.” Jawab perempuan itu.

Pak Sukiman menarik nafas panjang dan dalam. Dia beranjak pulang, tapi sebelum sampai rumah, dia mampir ke rumah Pak Kyai Qomar, seorang kyai masjid An-Nur di desa itu. Sesampainya di depan rumah itu, dia mengambil kotak yang selalu dia bawa itu dari dalam rombongnya. Lalu masuk ke rumah Pak Kyai Qomar dan memberikannya untuk disumbangkan untuk pembangunan masjid.

“Wah perhiasan ini semuanya disumbangkan Pak Sukiman? Banyak sekali?” Tanya Kyai Qomar.

“Iya Pak Kyai, saya sudah tidak memerlukannya lagi,” jawab Pak Sukiman.

Lalu dia mengundurkan diri dan melanjutkan perjalanan ke rumahnya. Ternyata perhiasan di dalam kotak itu adalah perhiasan yang akan diberikan pada istrinya si Saerah malam itu. Sebelum si Saerah mengeluarkan semua kata-kata makian kepadanya. Sebenarnya Pak Sukiman menanti ia kembali kepadanya, namun ternyata justru dia menjadi penjual kenikmatan. Astaghfirulloh...

No comments:

Post a Comment