Thursday, February 13, 2014

Ketika Bunga Layu (KBL)

Sofyie Sofyie
KBL...?

Habib Ahmad
aku wes ngantuk.....

Echo Yo Oke
Cerita Lelaki Muda

Nur Aziz
ayo ki siap

Gus Wahyu
Sabar mas brow

Nyadri Subejo
Alhamdulillah mash sehat

Kalimat di atas itu adalah kalimat yang aku minta pada teman-teman di facebook. Lalu kujadikan tantangan untuk diriku sendiri, bisa nggak membuat kalimat-kalilmat terpisah itu menjadi cerpen. Dan cerpen di bawah inilah hasilnya. Masih jauh dari kata bagus emang, namanya juga masih belajar.

Sebelumnya ada beberapa hal yang perlu aku jelaskan di sini, kenapa aku harus meminta-minta (ngemis :D) seperti itu?
  1. Aku terinspirasi sama catatan Bung Alexander Thian di blognya http://amrazing.com/lelaki-yang-mengayuh-laut/. Kamu bisa follow akun twitternya di @amrazing
  2. Cara seperti ini ternyata bisa membuat aku merasa berdosa bila tak menjadikannya cerpen. Jadi mau nggak mau aku akhirnya terus belajar menulis. Sorri ya, ceritanya masuk dalam kategori remaja.
Cekidot!

KBL (Ketika Bunga Layu)

Sebelum berkembang

Aku sudah menyangka kejadian ini akan terjadi suatu saat nanti. Dan saat itu ternyata adalah sekarang. Saat dimana aku harus melihat perempuan yang aku cintai terkena getah ulah para penjarah kesucian. Orang seperti Brutush itu tak pantas mengatakan kalimat “Aku mencintaimu” kepada siapapun wanita di bumi ini. Kenapa dia tidak mengganti saja kalimat itu dengan kalimat yang lebih sesuai dengan tujuannya mengucapkan itu. Bilang saja “Aku menafsuimu...!” payah.

Malam ini, aku sudah tak mampu lagi untuk mencegah keinginanku untuk mengutarakan perasaan terdalamku pada Sita. Aku merasa telah cukup untuk memberikan isyarat padanya. Dan sepertinya, Sita pun sudah menjawabnya dengan jelas padaku.

Isyarat yang nampak jelas sekali ini, isyarat bahwa ia juga mencintaiku, adalah peluang emas yang tidak  bisa tidak harus aku manfaatkan sebaik mungkin. Jangan sampai kupu-kupu yang sudah di depan jari ini, terbang menjauh lagi.

“Aduh, Kak, udah kayak hantu aja wanginya,” protes Sena, adikku, saat mencium aroma parfum andalanku. Aku hanya tersenyum dewasa menanggapinya.

“Doakan kakakmu ya, Sen, semoga Dewi Fortuna malam ini berpihak sama kakak.”

“Emangnya Kakak mau ngapain? Tumben malam minggu gini punya acara keluar. Biasanya juga di rumah aja!”

“Kakak mau nembak calon kakak iparmu malam ini...”

“Mati dong?”

“Enggak, palingan Cuma pingsan saking gembiranya. Ha...”

“Kak Sita?”

“Iya, siapa lagi?”

“Aduh, jangan berharap terlalu banyak deh, Kak. Kak Sita kan banyak sekali yang naksir?”

“Kamu tenang aja, Sena. Kakak sudah menangkap isyarat kuat yang dikirim oleh kakak iparmu itu.”

“Pede amat sih? Amat aja nggak pede-pede amat!”

“Harus dong. Udah kakak berangkat dulu ya..!”

“Iyaaa... Sok manis banget sih...!”

“Eh eh eh, kakak emang manis, bukan?”

“Abis nyemplung ke kolam madu kali!”

“Ah, kamu itu, bisa aja sih menjawabnya?” Sena nyengir, membuat hidungnya yang pesek kian tenggelam.

Cukup sudah obrolan ringan ama adikku yang paling aku cintai itu. Bukan karena apa-apa, tapi karena emang hanya dia adikku satu-satunya. Kusamperin si minthy kesayanganku. Catat ya! Minthy, dengan “y”, bukan minthi, dengan “i”. Taukan, biar kelihatan bulenya gitu. Minthyku ini memang istimewa. Banyak yang menawar ingin membelinya, tapi aku tak pernah berniat sedikit pun untuk menjualnya. Ia terlalu berharga bagiku. Yah, meski jadul, tapi si minthy tetaplah istimewa. Dan malam ini, kubawa dia main ke rumah seseorang yang istimewa pula.

Jarak rumahku tak begitu jauh dari rumah Sita. Hanya dua kali belokan juga udah nyampe. Ke kiri dan ke kanan. Deket banget lah pokoknya. Lima puluh meter sebelum nyampai di depan rumahnya, aku menyempatkan diri untuk berhenti sejenak, hanya untuk memastikan kemaksimalan penampilanku malam ini. Celana jeans ketat, kemeja kotak-kotak, dibungkus dengan jaket levis juga. Bisa dibayangkan, penampilanku malam ini kerennya kebangetan. Ce i leh... Emang dasarnya sudah tampan, didandanin gimana aja juga tampan. Setidaknya ibuku yang pernah bilang seperti itu. Entah kata orang lain. Haa..

Setelah yakin dengan penampilanku, kulanjutkan lagi perjalananku ke rumah Sita. Sial, kulihat sudah ada motor si Patkey yang terparkir manis di halaman rumah Sita. Kecolongan nih. Aku meragu, antara melanjutkan niat, atau balik kucing aja. Bila perlu balik macan aja, biar lebih cepat. Bila aku balik macan, tentu aku khawatir si Patkey akan berhasil merebut hati Sita. Playboy cap capung itu tak pernah mau ketinggalan kalau tahu ada cewek cantik. Minder juga sih sebenarnya, melihat motornya yang seharga lima puluh jutaan itu. Nama aslinya Brutush. Seminggu yang lalu baru aja dia mutusin pacarnya. Kini sudah berganti mengejar Sita. Jadi tak salah jika teman-temannya menjulukinya Patkey.

Aku sebenarnya khawatir banget sama Sita, aku nggak mau dia terjebak dalam rayuan gombal Brutush. Kalau memang benar saat ini dia sedang mendekati Sita, maka ini akan menjadi hambatan terbesar dalam kisah cinta pertamaku ini. Ortunya yang tajir, wajahnya yang ngartis, dan sikapnya yang romantis, selalu menjadi senjata ampuh untuk menekuklututkan hati gadis incarannya. Siapa juga sih yang nggak mau sama orang macam Brutush. Tapi Sita, ia terlalu baik bila hanya menjadi santapan Brutush.

Aku putuskan untuk tetap main ke rumah Sita. Aku tak mau menyerah begitu saja pada keadaan. Jangan sampai aku menyerah sebelum berperang. Kuparkir si Minthyku berjajar dengan motor nggak sopan harga itu. Aku tahu, Sita tak pernah mempertimbangkan tunggangan untuk memilih siapa kekasihnya.

“Assalamu’alaikum...” Kulihat Brutush begitu terkejutnya melihat kedatanganku.

“Wa’alaikum salam,” jawab Sita seorang. Sedangkan Brutush masih berada dalam posisi kebengongannya.

“Ngapain kamu ke sini?” tanya si Brutush sewot.

“Ada perlu sama Sita. Kamu sendiri?” tanyaku balik.

“Aku juga ada perlu sama Sita. Lebih tepatnya keperluan khusus gitulah.” Ceileh, pakai khusus segala. Palingan juga lagi pedekate.

“Silakan duduk, Galih! Kamu mau minum apa?” tanya Sita dengan senyumnya yang selalu membuat hatiku berdesir itu.

“Apa aja deh, Ta.”

Tak lama kemudian Sita kembali ke ruang tamu membawa segelas susu untukku. Sedangkan di depan Brutush sudah ada segelas teh yang tinggal separuh. Hatiku berbunga-bungalah. Bagiku susu, bagimu teh. Betapa gamblangnya Sita memberikan aku isyarat, meski saat ini ada Brutush yang ia tau juga sedang pedekate padanya.

Kali ini aku semakin percaya diri. Apalagi Sita yang berpindah tempat duduk. Kali ini ia duduk di sampingku, meski dengan kursi yang berbeda. Aku dan Sita sudah seperti sepasang suami istri yang sedang menerima tamu, seorang kawan lama. Oh, betapa bahagianya sepasang suami istri ini, seandainya beneran. Seperti shuttle cock yang terlempar tanggung di atas net, aku tinggal memilih untuk men-smash-nya ke mana aja. 

***

Tempo melambat, aku tak juga berkesempatan untuk mengutarakan cintaku pada Sita. Ujian Nasional yang sudah di depan mata, membuatku harus memberikan porsi lebih untuk kegiatan belajar. Tapi lain halnya dengan Brutush, tanpa sepengatahuanku, ternyata dia makin rajin bertandang ke rumah Sita.  Tapi aku tak juga bisa mengambil tindakan karena kesibukan ini dan itu. Dari mencuci kolor sampai mencuci motor, dan tak ada waktu untuk mencuci mata.

Sebuah istilah yang unik sebenarnya. Melihat pemandangan wanita-wanita cantik, dengan fokus di auratnya dinamakan dengan cuci mata. Kalau pun ada yang cuci mata dengan pemandangan alam yang indah, itu hanya satu dua yang menyebutnya dengan cuci mata. Mereka sering menyebutnya dengan refreshing. Dan khusus untuk cuci mata, sudah identik dengan melihat pemandangan cewek-cewek yang ada di depan mata. Yah uniklah, secara memandang aurat itu kan dosa, kenapa dibilang mencuci. Padahal mencuci itu kan membersihkan. Lah yang terjadi adalah mengotori mata dengan dosa. Ah udah udah, aku jadi malu pada diri sendiri, aku kan juga suka cuci-cuci mata. Ini nih yang namanya gajah diblangkoni.

Siang ini, aku sengaja menjemput Sita di kelasnya, untuk mengajaknya pulang bersama. Biasanya sih dia asyik-asyik memboncong si Minthy. Sita sudah berjalan sampai di depan gerbang sekolah. Aku menghampirinya dengan si Minthy.

“Pulang bareng yuk!” Aku berhenti di sampingnya. Tak ada jawaban yang bisa segera kudengar dari bibir tipisnya. Sebelum akhirnya Brutush juga berhenti di belakangku. Sita dengan cepat berjalan ke arah Brutush, dan membonceng di atas motornya. Haduh, rupanya kedudukan sekarang sudah 0-1 untuk keunggulan Brutush. Aku hanya memandangi mereka yang berlalu dari hadapanku.

“Galih..!” Kumenoleh ke asal suara panggilan itu. Ternyata si Soneo.

“Apa Son?” tanyaku malas-malasan.

“Nebeng pulang dong!”

“Ayo...! Ayo Minthy, bawa aku kemanapun kau mau! Juraganmu sedang terluka hati”

Minthy pun melaju. Sepanjang perjalanan Soneo terus mengoceh. Entah apa yang dibicarakannya, aku sama sekali tak mendengarnya. Di hatiku kini hanya ada Sita. Kenapa dia berubah sikap seperti itu? Kenapa dia lebih memilih Brutush dari pada aku. Bukankah dulu ia lebih dekat denganku? Apakah mereka sudah jadian? Huh, berjuta kekhawatiran memenuhi ruang hampa hatiku.

“Oke, makasih Sob. Kamu yang sabar ya? Da..!” Soneo melambaikan tangannya. Minthy kembali melaju dengan pedenya, di tengah lalu lalang motor-motor keluaran terbaru.

Bentar, bentar. Tadi si Soneo bilang apa? Aku musti sabar? Emang kenapa ya? Dari tadi ia ngomong apaan? Huh, terlalu banyak melamun sih. Firasat yang kurasakan semakin tak mengenakkan hati. Aku terus mencoba menepis segala kemungkinan yang bisa saja terjadi.

***

Malam ini aku ingin mengusir kepenatan pikiran dan hatiku. Ku-sms semua bala kurawa untuk segera ngumpul di markas. Lebih tepatnya di warung kopi Pak Din. Letaknya tak jauh dari rumahku. Satu per satu mereka mengkonfirmasi kehadirannya. Cempe siap. Wedus siap. Pedet siap. Masih kurang satu yang belum konfirmasi, Kebo. Loh, kok temanku binatang semua? Haa... Bukan nama sebenarnya. Kebiasaan pemberian nama julukan di kampung kami ini sudah sedemikian brutalnya. Hampir tak ada satupun pria remaja yang luput dari penjulukan seperti itu. Kecuali mereka yang pendiam dan jarang bergaul dengan sesama. Aku sendiri sebenarnya juga tak luput dari penjulukan itu. Tapi aku terlalu malu untuk menyebutnya di sini. Curang sedikit nggak papalah, yang penting nggak korupsi, bukan?

Malam hari gini paling enak emang kongkow di warung kopi. Mengadakan seminar informal berjam-jam lamanya, dengan tema universal. Saking universalnya, dialog bisa melebar kemana-mana. Mulai dari paha ayam potong sampai paha ayam kampung, dari Chelasea FC sampai Persibo. Ah, lupakan saja yang terakhir tadi.

“E... Mas Galih, apa kabar, Mas?”

“Alhamdulillah masih sehat, Pak.”

“Mau saya buatin apa malam ini? Kopi? Susu?”

“Kopi aja Pak Din, lima cingkir.”

“Apa? Kamu pengen mendem apa, Lih?” Pak Din sedikit membelalakkan matanya ke arahku.

“Mendem gimana, Pak?”

“Pesen kopi banyak banget gitu, buat siapa aja?”

“Udah, bikinin aja sana, entar binatang tamunya juga pada nyusul.”

“Oke, Bos.”

Aku memilih untuk duduk lesehan saja. Beralaskan banner bekas media kenarsisan para caleg. Aku menghela nafas berat, bersandarkan tiang teras warung Pak Din. Dalam waktu tujuh menit, Pak Din sudah membawakan lima cangkir kopi di depanku. Segera kupilih salah satunya. Kupegang dengan penuh cinta dan kasih sayang. Menuangkannya ke dalam lepek, dan Srrupppp... Ah... nikmatnya. Urat-urat di kepalaku rasanya kembali mengencang. Mata pun kian melebar.

Tapi sialan tuh anak-anak. Katanya udah pada siap tapi kok belum datang juga. Ya tentu aku “huft”lah. Daripada nganggur, pilihan terbaiknya adalah mainin gadget aja. Bukan android, bukan juga smartfone, bukan juga tablet. Terus apa? Sudahlah jangan kau tanya tentang gadget di tanganku ini, yang jelas aku bisa memainkan game ular makan tikus dengan gadgetku ini.

“Sorry, Pret, tadi mampir bentar ke rumah ayangku,” Kebo justru datang pertama kali. Dengan seulas senyuman yang gagal membuatku senang, bahkan lebih terasa menyesakkan hati. Kenapa dia nggak ngerti juga, bahwa membicarakan pacar dengan jomblowan itu adalah kejahatan nomor 9? Bisa-bisa terjerat pasal 11/12 UUP (Undang-undang Percintaan) dengan tuduhan penistaan seorang jomblo.

“Yo i, Bo. Harus dong!” aku memberikan senyuman terbaikku, berusaha tampil setabah mungkin. “Nih, kopimu!”

“Wedus sama Cempe belum nyampai sini ya?”

“Belum, tau tu anak, naik kereta bekicot kali!”

“Gimana kabarmu sama Sita, Pret?”

“Entahlah, sepertinya dia sudah terjaring perangkap Brutush,” nafasku kembali memberat. “Dulu aku sempat akan menembaknya, tapi aku pikir karena ini sudah mendekati ujian nasional, aku khawatir akan mengganggu konsentrasi belajarnya.

Wedus datang barengan sama Cempe. Kakak beradik itu memang kompak banget dalam hal apapun. Mulai dari gaya rambutnya, kaosnya, celananya, bahkan celana dalamnya.

“Dari mana aja kamu, Dus, lama banget?” tanya Kebo menjemput kedatangan mereka berdua.

“Aku punya berita penting broder broder, penting banget!” ujar si Cempe yang kemudian membuat formasi melingkar, seperti biasanya.

“Berita apaan, Cemp?” tanyaku penasaran.

“Ehm... Kamu janji dulu nggak akan pingsan setelah kusampaikan berita ini!” kata Cempe terdengar begitu mendebarkan hatiku. Berita apakah gerangan yang bisa membuat aku pingsan?

“Udah, cepat ceritain!” sergahku.

“Jadi gini Bro, Shanti, pacarku yang paling cantik di dunia itu cerita sama aku, kalau ternyata sekarang Sita sedang hamil tiga bulan,” glek, Cempe menelan ludah.

“Apa? Kamu jangan ngasal aja, Cemp, kalau bicara?”

“Beneran, mana mungkin sih Shanti bohong sama aku, lagian dia kan tetanggaan sama Sita!”

“Iya Bro, masyarakat sekitar sudah sangat gempar sekali,” wedus berusaha meyakinkan aku. “Kamu yang sabar Mas Bro!”

“Sialan benar si Brutush! Brengsek banget sih tu anak? Aku sudah menyangka kejadian ini akan terjadi suatu saat nanti. Dan saat itu ternyata adalah sekarang. Saat dimana aku harus melihat perempuan yang aku cintai terkena getah ulah penjarah kesucian perawan. Orang seperti Brutush itu tak pantas mengatakan kalimat ‘Aku mencintaimu’ kepada siapapun wanita di bumi ini. Kenapa dia tidak mengganti saja kalimat itu dengan kalimat yang lebih sesuai dengan tujuannya mengucapkan itu. Kenapa tidak bilang saja ‘Aku menafsuimu...!’ Cuk!”

Aku hanya bisa menyembunyikan mimik tak beraturan di wajahku, dengan kedua telapak tanganku yang tak henti menjambak-jambak rambutku. Kisah cinta pertamaku ini harus berhenti sebelum aku menuliskannya. Cinta pertamaku gagal. Bagaimana mungkin, bola yang sudah di depan gawang ini bisa meleset? Tak ada gol lagi untuk menyamakan kedudukan, karena waktu sudah habis. It’s over. Oh, My God, i’m galau to night. 

“Ayo, ki siap! Kita hajar aja rame-rame si Brutush,” Kebo ikutan emosi mendengar berita itu. Ia berdiri sambil berkecak pinggang.

“Jangan sekarang, Bo. Udah terlalu malam untuk bikin keributan,” Wedus coba meredam Kebo.

“Iya benar, lagian aku wes ngantuk, besok masih ada waktu untuk itu, Bo,” Cempe menyambung.

Sedangkan aku sendiri masih tertunduk lesu. Tak tau bagaimana lagi aku harus mengambil keputusan malam ini. Jiwaku lunglai seperti tersambar petir di malam bolong. Ternyata tidak hanya siang saja yang bolong, malam juga bisa bolong, seperti malam ini. Berita itu telah membabat habis harapan cintaku selama ini. Rasanya baru kemarin aku masih bertukar isyarat dengannya. Tapi malam ini, sungguh terasa sesak sekali di dadaku.

Ingin sekali rasanya kupotong-potong buah dzakarnya itu. Suka banget sih dia cari-cari kesempitan? Begitulah, Brutush selalu mencari kesempitan tiap ada kesempatan. Khayalan tentang masa depan yang kan kulalui bersama Sita, kini terpotong-potong menjadi puzzle yang tak akan pernah bisa terrangkai menjadi gambar utuh lagi. Jiwaku kini hanyalah seperti sim card handphone yang sudah habis masa tenggangnya. Tak bisa lagi mengirim dan menerima pesan cinta dari siapapun. Mati.

***

Lembar-lembar waktu telah terlipat dengan cepatnya. Ujian Nasional tinggal  dua hari lagi. Namun sekolah digemparkan lagi dengan berita dikeluarkannya Nisa dari sekolah. Kabar ini sendiri aku dengar dari cerita lelaki muda tadi malam, ketika aku masih ingin membuang suntuk di warkop Pak Din. Keputusan itu diambil setelah pihak sekolah mengetahui bahwa Sita telah hamil. Termasuk si Brutush yang suka menaruh burungnya sembarangan itu. Oh My God! Kabar ini terasa begitu mengerikan di telingaku. Sehari menjelang Ujian Nasional mereka dikeluarkan dari sekolah? Gilak benar dunia ini.

Sedikit banyak aku bisa membayangkan bagaimana perasaan Sita saat ini. Sita yang memang nggak pernah neko-neko harus termakan bujuk rayu Brutush, yang kini membawanya pada nestapa berkepanjangan. Ada kasihan yang menyeruak dalam dada. Ataukah ini cinta? Aku tak lagi bisa memperjelas perasaanku.

Perasaan kalut membawa tubuhku berjalan menuju ruang Kepala Sekolah. Aku ingin menyampaikan keberatanku atas keputusan sekolah itu. Mereka harus membatalkannya. Sita harus tetap ikut ujian, titik.

“Itu tidak mungkin, Nak Galih! Apa yang mereka lakukan jelas telah mencoreng nama baik almamater kita!” jawab Pak Brodin, Kepala Sekolah, yang meski terucap manis namun begitu pahit kurasakan.

“Pak, bukankah apa yang terjadi ini menunjukkan bahwa pendidikan sekolah ini telah gagal?” aku berusaha menyerang sekenanya.

“Maksud kamu?”

“Iya gagal. Sekolah kita telah gagal membangun jiwa-jiwa muridnya. Semua guru hanya sibuk mencekoki pelajaran-pelajaran, yang itu hanya untuk konsumsi otak saja. Sedangkan konsumsi untuk kejiwaannya hanyalah menjadi menu pelengkap saja. Kasus seperti Sita ini hanyalah sebagian kecil yang terjadi pada murid-murid Bapak!” suasana menegang. Kulihat wajah Pak Brodin mulai terlihat garis-garis kemarahannya. Aku tetap tak peduli. Aku hanya ingin Sita tetap ikut ujian.

“Kamu kalau bicara jangan sembarangan, Galih! Kamu mau saya keluarkan juga dari sekolah ini? Ha?!” matanya yang memerah itu kini juga melotot.

Brengsek. Mentang-mentang dia punya kekuasaan untuk mengambil keputusan, seenaknya saja menodongkan palu-nya untuk mengancam orang lain saat dia sendiri terancam.

“Bagaimana bisa, sekolah sebagai lembaga pendidikan tidak merasa bertanggung jawab atas kebobrokan mental murid-muridnya?” aku bersikukuh untuk terus melawan.

“Ha ha ha ha..” Pak Brodin bahkan masih bisa tertawa. “Nak Galih, kalian belajar di sekolah ini hanya berapa jam?”

“Tujuh jam?”

“Betul, dan kami tidak bisa berbuat banyak dengan tujuh jam itu. Tujuh belas jam lainnya kalian habiskan di rumah. Dan itu menjadi tanggung jawab orang tua kalian. Persoalan kebobrokan mental itu banyak sekali penyebabnya. Bisa pergaulan mereka yang salah, dan juga kemajuan jaman ini, yang memang telah menggerogoti moral anak bangsa.”

“Dan itu artinya sekolah ini tak bisa menjawab semua tantangan itu. Kini, saat jiwa Sita telah meredup, Anda justru menyiramnya dengan air. Luar biasa! Permisi!” aku berlalu meninggalkan ruang kepala sekolah. Teriakan Pak Brodin memanggil-manggil namaku tak lagi kuhiraukan. Bulshit dah.

***

Semakin lama aku semakin tak bisa mengenyahkan bayangan wajah Sita dari pikiranku. Aku ingin sekali bertemu dengannya. Aku ingin memastikan bahwa dia baik-baik saja. Angin malam menerobos ke celah lengan bajuku. Memberikan efek kesejukan di ketiakku yang basah. Entahlah, malam ini terasa gerah sekali. Mungkin langit malam ini terbungkus mendung, aku tak tau, dan juga tak mau tau.

Tak terasa satu jam sudah aku duduk sendirian di teras rumah. Kulirik lagi si Minthy untuk ke sekian kalinya di tengah-tengah kegamangan hatiku, antara memilih pergi ke rumah Sita atau melupakannya selamanya.

Werr... Minthy sudah melaju dengan cepatnya. Aku tak mampu lagi menahan diri untuk menemui Sita. Aku mencintainya, atau lebih tepatnya aku sangat mencintainya. Aku tak ingin terjadi sesuatu padanya. Saat dalam keadaan terpuruk, orang bisa saja nekad melakukan sesuatu di luar nalar kewarasannya.

Tak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah Sita. Kenapa banyak orang berkerumun di rumah Sita? Aku masih berdiri di depan pagar rumahnya. Berjuta kehawatiran menyeruak dalam hati. Terdengar suara jeritan tangis perempuan bersahut-sahutan. Aku masih termangu memandangi mereka.

“Minggir, Mas, minggir!” teriak seorang laki-laki dari belakangku. Saat aku menoleh ke belakanga ternyata mereka berempat sedang memikul keranda. Lalu mereka menaruhnya di sisi rumah Sita. Aku mengejar mereka.

“Siapa yang meninggal?!” aku menyergap seseorang seusia ayahku, yang tadi ikut memikul keranda itu.

“Sita... Mengenggak racun tikus... ”

Dalam sekejap, aliran energi dalam tubuhku melenyap. Tubuhku lunglai, tergeletak bersamaan dengan hilangnya kesadaranku.

No comments:

Post a Comment