Monday, January 27, 2014

Satu (Serial ACUJ)


ada cinta di ujung jari
“Masih berapa lama lagi sih, Lang?” Suara Grisa diikuti suara gemuruh guntur di ujung langit timur. Tak lama suara-suara hujan meriuhkan suasana pembicaraan mereka yang sepi.
“Belum tau, Gris. Masih ada beberapa bagian yang harus diperbaiki ini. Dan aku tak bisa menentukan berapa lama waktunya.”
Kedua alis Grisa bergeser saling mendekat. Di bawah hidungnya yang mungil, sudah terpampang jelas bibir manyun. Bila dirasa perlu, Grisa biasanya memperjelasnya kemanyunannya ketika Galang menatapnya. Namun tidak kali ini, Galang tak sedikit pun mengalihkan pandangannya dari LCD monitor di depannya. Ketika berpadu dengan rambut poni dan dagunya yang lancip, wajahnya justru terlihat kian menggemaskan saat dia cemberut.
Sebelum mereka jadian, sebenarnya Galang sudah pernah menjelaskan pada Grisa, bahwa blogging sudah menjadi bagian dari hidupnya. Tak ada sesuatupun yang bisa memisahkannya dari dunia blogging. Namun rupanya aura Galang yang begitu kentara, dengan mudah membuat Grisa berjanji tak akan mempermasalahkan itu, waktu itu.
“Kalo gitu aku pulang aja deh?!” Grisa mencoba menggertak. Namun jemari Galang yang masih sedemikian beringasnya di atas keyboard hitam itu, membuat gertakannya sama sekali tak berarti. Grisa makin kesal ketika melihat barisan code-code di layar monitor itu.
“Kau tak ingin membaca puisi-puisi ini dulu?” Galang menyebut code itu puisi. Sebuah hal yang sampai saat ini tak pernah terlihat oleh Grisa dan sudut pandang manapun.
“Emang kurang kerjaan apa?” Grisa berdiri dari tempat duduknya. “Aku mau pulang!” Dia masih berusaha menekankan gertakannya, sambil berharap Galang akan meraih tangannya.
Galang hanya sedikit melirik ke arahnya. Gertakannya kini hanya seperti ombak yang mencoba merobohkan karang. Meski sebenarnya Galang tak tega melepas kepergian Grisa, namun ia merasa harus menuntaskan kerjaannya. Dia tak mau kehilangan alur puisi-puisinya. Galang hanya termangu memandang kekasihnya yang sudah berhasil melangkah sedikit menjauh dari posisi Galang.
“Setidaknya tunggulah sampai hujan reda, Gris!” ucap galang, berharap bisa menahan kepergian Grisa. Grisa membalikkan badan. Matanya menatap tajam ke arah Galang, kemudian getir perlahan mengalir dalam hatinya. Sebuah tatapan kekecewaan yang berusaha menyudutkan Galang sore itu. Grisa secepat kilat kembali mengahadap ke pintu, sebelum pandangan Galang kembali layar monitornya. Dan benar, suara gemerancak jemari menekan keyboard kembali menyakiti hatinya.
Grisa terlanjur berbalik badan. Dia tak mungkin kembali duduk di samping Galang, meski ia ingin. Grisa panik. Dia baru saja melewatkan momen yang sebenarnya sangat ia harapkan, yaitu saat Galang melarangnya pergi. Tapi Ego dan gengsinya terlalu mencengkeram hatinya. Momen itu pun terlewatkan. “Galang...! Cegah aku dong...!” pekiknya dalam hati.
Kakinya harus tetap melangkah mendekati pintu bergagang keemasan itu. Langkahnya terasa begitu berat dan melambat. Tapi sayang, jarak pintu itu terlalu dekat. Tangannya kini sudah sampai pada gagang pintu. “Duh, kenapa Galang diem aja sih? Dasar bodoh!” gerutunya kian mendalam. Pintu itu terasa seperti tepian tebing yang teramat tinggi. Ia pasti akan jatuh saat melawati pintu itu. Hatinya miris dalam gerimis yang tak kunjung habis.
“Grisa...!!!” Grisa menghentikan langkahnya. Harapan itu kembali muncul dalam hati Grisa. Dia tak ingin lagi kehilangan momen. Tapi dia sadar harus tetap menjaga harga diri di mata Galang, karena itu dia tak membalikkan badannya. Meski dalam hatinya ia berbunga-bunga, karena Galang akan segera mencegahnya pergi. “Ayo cepat Galang, hentikan langkahku..!” mohonnya dalam hati.
“Hati-hati di jalan ya!”
Brakkk. Pintu itu pun terbanting sedemikian kerasnya. Grisa ingin sekali meminjam motor Marc Marquess agar bisa secepat kilat meninggalkan Galang.
***
Sial, Grisa lupa kalau dia sudah memaksa sopirnya untuk langsung pulang setelah mengantarnya tadi, karena rencananya Grisa akan jalan sama Galang. Tapi yang terjadi kini bertolak belakang dengan harapannya. Dia tak mungkin menyuruh sopirnya untuk segera menjemputnya, karena tak mungkin pula ia menunggunya di sini. Di depan rumah Galang. Sedangkan hujan justru semakin deras.
Grisa nekad berjalan menerobos hujan. Tak lama seluruh tubuhnya basah kuyup. Sesekali angin berulah nakal ingin menyingkap rok merahnya. Tak ada yang tahu kalau pipinya tidak hanya basah karena air hujan, tapi juga air mata. Kamu tega banget sih, Lang? Gerutunya dalam hati.
Sebuah mobil sedan putih menepi dan berhenti di depannya. Pintu sebelah kirinya terbuka, namun Tak ada seseorang yang keluar dari mobil itu. Sebuah mobil yang tak asing di mata Grisa. Mobil mewah milik si anak papa, Antony, yang mati-matian mengejar cinta Grisa. Seperti sore ini, ia selalu datang di saat aku membutuhkan seseorang. “Tot tot,” klaksonnya berbunyi dua kali, karena Grisa yang tak juga masuk ke dalam mobil.
Meski berat, akhirnya Grisa melangkah masuk ke dalam mobil. Antony memberikan sebuah handuk kecil padanya.
“Kamu bisa sakit tau nggak?” ujar Antony pelan.
“Emang udah sakit,” jawaban yang datar-datar saja keluar dari mulutnya. Ia memang sudah sakit, tapi tempatnya dalam hati.
“Mana Galang?” Antony menelisik apa yang sedang terjadi.
“Lagi di rumah,” hajing... Grisa bersin-bersin. Ia masih sibuk mengeringkan rambut dan wajahnya dengan handuk kecil pemberian Antony.
“Kenapa tidak menelepon dia buat nganterin pulang? Lagi berantem ya?” Pertanyaan itu terasa menohok sekali di relung hati Grisa. Tak mungkin ia membeberkan apa yang sedang terjadi antara dirinya dengan Galang, bisa-bisa Antony merasa berpeluang besar merebut hatinya.
“Enggak. Buat apa berantem? Kita baik-baik saja,” suaranya meragu.  
“Udah, nggak usah bohong. Tak mungkin weekend gini seorang gadis yang nggak jomblo, berjalan hujan-hujan sendirian kalau tidak sedang bertengkar sama pacarnya.”
“Sok tau banget sih?” Grisa manyun.
“Ya sudah lah, enggak penting juga bagiku. Sekarang kamu mau kemana?”
“Ya pulanglah.”
Antony mengarahkan laju mobilnya menuju rumah Grisa.

=====> harus bersambung ... =======>

No comments:

Post a Comment