Monday, January 27, 2014

TELAPAK KAKIMU IMPIANKU


Langit kota Bandung terlukis begitu cerahnya malam ini. Kilauan bintangnya seolah berkata, silakan kau nikmati malam ini. Kompetisi ligina yang baru akan digelar dua bulan lagi, memberiku waktu untuk bisa menikmati secercah kebebasan. Sebuah kesempatan yang jarang sekali bisa kunikmati bila kompetisi telah dimulai.
Aku mengajak kawanku, Stevanus, pemain yang datang jauh-jauh dari Papua ke Bandung, untuk jalan-jalan menyusuri semaraknya kita Bandung malam ini. Honda Jazz putih melaju dengan penuh kewibawaannya. Tak ada yang menyangka bahwa di dalamnya sebenarnya hanyalah orang kampung macam saya ini. Sebuah stiker bertuliskan “Telapak Kakimu Impiaku” sengajaku pasang di atas dasbord mobilku. Sebuah tulisan yang kutujukan untuk ibuku tercinta, yang surga ada di telapak kakinya. Aku bukanlah siapa-siapa bila tak kudapatkan ridha ibu. Membaca tulisan itu, membuatku seperti selalu ditemani oleh ibuku. Selain itu aku agar aku juga tak lupa untuk menelepon ibu, meminta doanya, tiap kali aku akan bertanding. 
“Kamu pengen kemana, Steve?” tanyaku sambil memutar lagu favoritku sepanjang masa, apalagi kalau bukan Until The End-nya Avenged Seven Fold.
“Aku ikutan aja deh, kemana aja boleh,” jawab Stevanus.
“Kalau malam-malam gini, para pemuda di kampungku sukanya pergi ke warung-warung kopi, dan sepertinya malam ini aku ingin secangkir kopi. Gimana, asyik nggak?” tanyaku.
“Boleh.”
Dari jalan Ir. Juanda mobilku terus melaju membelah keramaian kota. Tak lama aku membelokkan mobilku ke kiri, memasuki jalan Bukit Pakar Timur. Sebuah cafe dengan nama unik menjadi tujuanku. Kopi Ireng. Stevanus hanya tersenyum simpul saat membaca tulisan di sebuah papan kayu bertuliskan Kopi Ireng.
Ada berbagai macam kopi tersedia di sana. Dari kopi lokal, kopi luwak, sampai kopi khas italia. Tapi aku lebih senang memilih kopi luwak. Tak butuh waktu lama, seorang perempuan cantik membawa  dua cangkir kopi luwak yang sudah kupesan tadi. Jika ditambah dengan view city lightnya kota Bandung malam ini, secangkir kopi ini benar-benar siap menyempurnakan keindahan malam ini.
Stevanus bercerita banyak tentang daerah asalnya. Budaya-budaya yang ada disana, sampai bagaimana ceritanya ia bisa sampai di kota Bandung ini. “Sekarang giliran kamu Frank, gimana ceritanya kamu bisa sampai di sini? Kenapa tidak memilih Surabaya atau Malang saja?
“Ceritanya panjang sekali, Steve. Yang jelas aku ingin merasakan hidup di kota Paris Van java ini sejak dulu. Tak mudah bagiku untuk bisa seperti sekarang ini. Semuanya harus melalui perjuangan yang sangat melelahkan.” Kuteguk sedikit kopiku, ah, nikmat sekali. Tentu menjadi lebih nikmat lagi, saat sebatang Marlboro menebarkan kekharismaannya dari mulut dan kedua hidungku. Sedap tiada tara. Aku pun mulai bercerita pada Stevanus, tentang awal mula perjuanganku di dunia sepak bola.
***
“Kamu pasti bisa, Kawan!” Irwansyah masih mencoba menyemangatiku. Sedangkan aku masih terkulai lemas, terbaring di pinggir lapangan. Sembilan puluh menit sudah tim sepak bola sekolah kami bermain. Melawan tim yang sudah menjadi langganan juara event ini. Terjangan pemain belakang tim lawan tadi masih meninggalkan rasa nyeri di tulang betisku. Untung saat lima menit sebelum babak ke dua tadi berakhir, aku bisa melesakkan gol. Sehingga kami masih bisa membuka peluang untuk lolos babak berikutnya.
“Gimana, Franky, masih siap turun lagi bukan?” tanya Pak Sis, pelatih sekaligus guru kami. Berat sekali menjawab pertanyaan itu. Nyeri yang masih kurasakan ini seperti merengek minta diistirahatkan. Tapi semangat dalam hati ini masih berkibar menantang. Aku ingin memastikan, bahwa sekolah yang ada di desa juga bisa mengalahkan sekolah-sekolah yang ada di kota. Bahkan dari awal aku dan teman-temanku menyimpan tekad ingin membawa pulang piala bertuliskan Juara I.
“Siap, Pak!” jawabku. Kulihat wajah Pak Ahmad yang kembali merekah karena jawabanku.
“Bagus, Franky, lanjutkan! Kamu pasti bisa!” teriak Irwansyah. Kulihat tangannya juga mengepal, seperti para pejuang hendak berperang. Bukan hal yang berlebihan, mengingat pertandingan ini adalah pertandingan yang sangat menentukan perjuangan tim kami. Siapa yang keluar sebagai pemenang pada pertandingan sore hari ini, dialah yang berhak untuk melanjutkan ke babak semi final. Artinya, kalau kami kalah, itu berarti mimpi kami juga ikut punah.
Kulempar tatapan mataku ke arah tribun penonton. Aku tak mungkin menatap ke arah tribun news, karena tak ada gadget apapun di tanganku. Tak mungkin juga ada update hasil pertandingan kami di sana. :D Pertandingan yang sangat boleh dibilang kecil, namun begitu berarti besar bagiku. Pertandingan yang sampai sekarang masih saja kuingat, meski sekarang aku sudah menjadi pemain sepak bola profesional di negeri ini. Bercerita tentang pertandingan itu bisa memercikkan kembali semangat dalam dada.
Di tribun itu, teman-teman kami telah memaksimalkan perannya sebagai pemain ke dua belas. Sorakan mereka, teriakan mereka dan tepuk tangan mereka menjadi penyumbang energi terbesar bagi kami. Kulihat wajah-wajah cemas penuh pengharapan kami bisa memenangi pertandingan itu.
Di sebelah utara kami, tim lawan juga terlihat begitu kelelahan. Dua tiga pemain mereka terlentang beralaskan rerumputan. Mungkin dalam benak mereka masih penuh tanda tanya, tak habis pikir, kenapa mereka bisa begitu kesusahan melawan tim dari sekolah yang baru mereka kenal dalam event ini.
Mereka tak pernah tau, di dada kami, telah terukir mimpi-mimpi yang jauh melesat ke liga Indonesia. Saat itu adalah saat-saat dimana kami harus membuktikan pada guru-guru kami, bahwa kami memiliki sesuatu yang berarti.
Priiitttttt... Peluit wasit terdengar bak terompet perang. Kami melanjutkan pertandingan ke babak tambahan. Lima belas menit kali dua yang sangat menentukan. Rupanya kali ini mereka bermain lebih terorganisir lagi. Permainan umpan pendek, dari kaki ke kaki berhasil mereka mainkan dengan apik. Sedangkan kami menghadang mereka dengan bermain bertahan dengan tetap menyiapkan peluru serangan balik. Beberapa kali kami melakukan serangan balik itu, namun rupanya pemain mereka bertambah satu lagi. Beberapa peluang kami harus tertutup karena aku selalu diganjar offside. Padahal sudah jelas-jelas aku berlari setelah bola itu diumpan. Ah.. Rasanya pengen ku patahkan bendera asisten wasit itu. Geram sekali hati ini. Apalagi pelatih kami, protes yang diteriakkan hanya seperti angin lalu. Tak ada tanggapan sama sekali.
Dua kali lima belas menit telah habis, namun kedudukan masih imbang. Kami harus mengakhiri pertandingan itu dengan adu finalty. Sungguh keadaan yang sangat tidak menguntungkan bagi kami, karena mereka mempunyai kiper yang berpostur tinggi besar. Sedangkan kiper kami berbadan kurang proporsional.
Tapi tak semudah menghujat orang mereka bisa mengalahkan kami. Kesebelas pemain harus ikut menendang bola, termasuk kiper, karena kedudukan selalu saja imbang. Mereka sempat ketar-ketir saat dua tendangan pemain mereka gagal melesakkan bola ke gawang. Namun akhirnya mereka berhasil menyamakan kedudukan dan bahkan mengakhiri perjalanan kami di event itu.
Semua tertunduk lesu. Air mataku tak tertahankan juga, saat melihat Imron dan teman-temanku yang lain juga menangis. Kami kecewa bukan karena kami kalah, tetapi karena kami harus merelakan mimpi kami hangus tak tersisa. Pak Ahmad, Pak Azka, Pak Sis dan guru-guru lain yang ikut mengantarkan kami mencoba untuk membesarkan hati kami.
“Udah, kalian itu nggak kalah. Kalian itu hebat, sudah membuat mereka yang juara bertahan itu, begitu kesulitan melawan kalian!” kata Pak Ahmad sambil menepuk-nepuk bahuku.
Kami memang pulang tanpa piala, tapi kami pulang dengan impian yang kian menyala dalam dada. Sebuah impian untuk menjadi pemain sepak bola di level tertinggi di Indonesia. Dan sekarang, aku telah mendapatkannya.
***
“Maaf, Mas, kami akan segera tutup,” ujar perempuan cantik tadi.
“Oke, Mbak! Balik yuk Steve!”
“Ayok, aku juga dah ngantuk banget nih.”
Wussssssssssss...

No comments:

Post a Comment