Langit kota
Bandung terlukis begitu cerahnya malam ini. Kilauan bintangnya seolah berkata,
silakan kau nikmati malam ini. Kompetisi ligina yang baru akan digelar dua bulan
lagi, memberiku waktu untuk bisa menikmati secercah kebebasan. Sebuah kesempatan yang jarang
sekali bisa kunikmati bila kompetisi telah dimulai.
Aku mengajak
kawanku, Stevanus, pemain yang datang jauh-jauh dari Papua ke Bandung,
untuk jalan-jalan menyusuri semaraknya kita Bandung malam ini. Honda Jazz putih
melaju dengan penuh kewibawaannya. Tak ada yang menyangka bahwa di dalamnya sebenarnya
hanyalah orang kampung macam saya ini. Sebuah stiker bertuliskan “Telapak Kakimu Impiaku”
sengajaku pasang di atas dasbord mobilku. Sebuah tulisan yang kutujukan untuk
ibuku tercinta, yang surga ada di telapak kakinya. Aku bukanlah siapa-siapa
bila tak kudapatkan ridha ibu. Membaca tulisan itu,
membuatku seperti selalu ditemani oleh ibuku. Selain itu aku agar aku juga tak lupa untuk
menelepon ibu, meminta doanya, tiap kali aku akan bertanding.
“Kamu pengen
kemana, Steve?” tanyaku sambil memutar lagu favoritku sepanjang masa, apalagi
kalau bukan Until The End-nya Avenged Seven Fold.
“Aku ikutan aja
deh, kemana aja boleh,” jawab Stevanus.
“Kalau malam-malam
gini, para pemuda di kampungku sukanya pergi ke warung-warung kopi, dan
sepertinya malam ini aku ingin secangkir kopi. Gimana, asyik
nggak?” tanyaku.
“Boleh.”
Dari jalan Ir.
Juanda mobilku terus melaju membelah keramaian kota. Tak lama aku membelokkan
mobilku ke kiri, memasuki jalan Bukit Pakar Timur. Sebuah cafe dengan nama unik
menjadi tujuanku. Kopi Ireng. Stevanus hanya tersenyum simpul saat membaca
tulisan di sebuah papan kayu bertuliskan Kopi Ireng.
Ada berbagai
macam kopi tersedia di sana. Dari kopi lokal, kopi luwak, sampai kopi khas italia. Tapi aku lebih
senang memilih kopi luwak. Tak butuh waktu lama, seorang perempuan cantik
membawa dua cangkir kopi luwak yang
sudah kupesan tadi. Jika ditambah dengan view city lightnya kota Bandung malam ini, secangkir kopi ini
benar-benar siap menyempurnakan keindahan malam ini.
Stevanus
bercerita banyak tentang daerah asalnya. Budaya-budaya yang ada disana, sampai
bagaimana ceritanya ia bisa sampai di kota Bandung ini. “Sekarang giliran kamu
Frank, gimana ceritanya kamu bisa sampai di sini? Kenapa tidak memilih Surabaya
atau Malang saja?
“Ceritanya panjang sekali, Steve. Yang jelas aku ingin
merasakan hidup di kota Paris Van java ini sejak dulu. Tak mudah bagiku untuk bisa
seperti sekarang ini. Semuanya harus melalui perjuangan yang sangat melelahkan.” Kuteguk sedikit kopiku, ah, nikmat sekali. Tentu menjadi lebih nikmat lagi, saat
sebatang Marlboro menebarkan kekharismaannya dari mulut dan kedua hidungku. Sedap
tiada tara. Aku pun mulai bercerita pada Stevanus, tentang awal mula perjuanganku
di dunia sepak bola.
***
“Kamu pasti
bisa, Kawan!” Irwansyah masih mencoba menyemangatiku. Sedangkan aku masih
terkulai lemas, terbaring di pinggir lapangan. Sembilan puluh menit sudah tim
sepak bola sekolah kami bermain. Melawan tim yang sudah menjadi langganan juara
event ini. Terjangan pemain belakang tim lawan tadi masih meninggalkan rasa
nyeri di tulang betisku. Untung saat lima menit sebelum babak ke dua tadi berakhir,
aku bisa melesakkan gol. Sehingga kami masih bisa membuka peluang untuk lolos babak berikutnya.
“Gimana, Franky,
masih siap turun lagi bukan?” tanya Pak Sis, pelatih sekaligus guru kami. Berat
sekali menjawab pertanyaan itu. Nyeri yang masih kurasakan ini seperti merengek
minta diistirahatkan. Tapi semangat dalam hati ini masih berkibar menantang. Aku
ingin memastikan, bahwa sekolah yang ada di desa juga bisa mengalahkan
sekolah-sekolah yang ada di kota. Bahkan dari awal aku dan teman-temanku
menyimpan tekad ingin membawa pulang piala bertuliskan Juara I.
“Siap, Pak!”
jawabku. Kulihat wajah Pak Ahmad yang kembali merekah karena jawabanku.
“Bagus, Franky,
lanjutkan! Kamu pasti bisa!” teriak Irwansyah. Kulihat tangannya juga mengepal,
seperti para pejuang hendak berperang. Bukan hal yang berlebihan, mengingat
pertandingan ini adalah pertandingan yang sangat menentukan perjuangan tim
kami. Siapa yang keluar sebagai pemenang pada pertandingan sore hari ini,
dialah yang berhak untuk melanjutkan ke babak semi final. Artinya, kalau kami
kalah, itu berarti mimpi kami juga ikut punah.
Kulempar tatapan
mataku ke arah tribun penonton. Aku tak mungkin menatap ke arah tribun news,
karena tak ada gadget apapun di tanganku. Tak mungkin juga ada update hasil
pertandingan kami di sana. :D Pertandingan yang sangat boleh dibilang kecil, namun
begitu berarti besar bagiku. Pertandingan yang sampai sekarang masih saja
kuingat, meski sekarang aku sudah menjadi pemain sepak bola profesional di
negeri ini. Bercerita tentang pertandingan itu bisa memercikkan kembali
semangat dalam dada.
Di tribun itu,
teman-teman kami telah memaksimalkan perannya sebagai pemain ke dua belas. Sorakan
mereka, teriakan mereka dan tepuk tangan mereka menjadi penyumbang energi
terbesar bagi kami. Kulihat wajah-wajah cemas penuh pengharapan kami bisa
memenangi pertandingan itu.
Di sebelah
utara kami, tim lawan juga terlihat begitu kelelahan. Dua tiga pemain mereka
terlentang beralaskan rerumputan. Mungkin dalam benak mereka masih penuh tanda
tanya, tak habis pikir, kenapa mereka bisa begitu kesusahan melawan tim dari
sekolah yang baru mereka kenal dalam event ini.
Mereka tak
pernah tau, di dada kami, telah terukir mimpi-mimpi yang jauh melesat ke liga
Indonesia. Saat itu adalah saat-saat dimana kami harus membuktikan pada
guru-guru kami, bahwa kami memiliki sesuatu yang berarti.
Priiitttttt... Peluit
wasit terdengar bak terompet perang. Kami melanjutkan pertandingan ke babak
tambahan. Lima belas menit kali dua yang sangat menentukan. Rupanya kali ini
mereka bermain lebih terorganisir lagi. Permainan umpan pendek, dari kaki ke
kaki berhasil mereka mainkan dengan apik. Sedangkan kami menghadang mereka
dengan bermain bertahan dengan tetap menyiapkan peluru serangan balik. Beberapa
kali kami melakukan serangan balik itu, namun rupanya pemain mereka bertambah
satu lagi. Beberapa peluang kami harus tertutup karena aku selalu diganjar
offside. Padahal sudah jelas-jelas aku berlari setelah bola itu diumpan. Ah.. Rasanya
pengen ku patahkan bendera asisten wasit itu. Geram sekali hati ini. Apalagi pelatih
kami, protes yang diteriakkan hanya seperti angin lalu. Tak ada tanggapan sama
sekali.
Dua kali lima
belas menit telah habis, namun kedudukan masih imbang. Kami harus mengakhiri
pertandingan itu dengan adu finalty. Sungguh keadaan yang sangat tidak
menguntungkan bagi kami, karena mereka mempunyai kiper yang berpostur tinggi
besar. Sedangkan kiper kami berbadan kurang proporsional.
Tapi tak
semudah menghujat orang mereka bisa mengalahkan kami. Kesebelas pemain harus
ikut menendang bola, termasuk kiper, karena kedudukan selalu saja imbang. Mereka
sempat ketar-ketir saat dua tendangan pemain mereka gagal melesakkan bola ke
gawang. Namun akhirnya mereka berhasil menyamakan kedudukan dan bahkan mengakhiri
perjalanan kami di event itu.
Semua tertunduk
lesu. Air mataku tak tertahankan juga, saat melihat Imron dan teman-temanku
yang lain juga menangis. Kami kecewa bukan karena kami kalah, tetapi karena
kami harus merelakan mimpi kami hangus tak tersisa. Pak Ahmad, Pak Azka, Pak
Sis dan guru-guru lain yang ikut mengantarkan kami mencoba untuk membesarkan
hati kami.
“Udah, kalian
itu nggak kalah. Kalian itu hebat, sudah membuat mereka yang juara bertahan
itu, begitu kesulitan melawan kalian!” kata Pak Ahmad sambil menepuk-nepuk
bahuku.
Kami memang pulang
tanpa piala, tapi kami pulang dengan impian yang kian menyala dalam dada. Sebuah
impian untuk menjadi pemain sepak bola di level tertinggi di Indonesia. Dan sekarang,
aku telah mendapatkannya.
***
“Maaf, Mas,
kami akan segera tutup,” ujar perempuan cantik tadi.
“Oke, Mbak!
Balik yuk Steve!”
“Ayok, aku juga
dah ngantuk banget nih.”
Wussssssssssss...
No comments:
Post a Comment