Monday, March 17, 2014

The City of Broken Dream

“Damn!!!,” Gavrilovich memukul-mukul setir mobilnya. Dia bersama tiga temannya yang lain baru saja melakukan penelitian di Kadykchan. Sebuah kota di wilayah Oblast, Magadan, Russia yang dibangun oleh narapidana gulag selama Perang Dunia II. Diantara mereka berempat, Agnessalah yang memiliki kaitan erat dengan kota itu. Kakek dan neneknya menjadi bagian dari para narapidana gulag itu.

“What’s wrong, Grav??” seorang gadis cantik berkalung cristal piramid menoleh padanya. Namanya Agnessa. Pandangannya tertuju pada wajah  Gavrilovich yang membersut.

“Berkas penelitian kita tertinggal di Kadykchan,” jawab Gavrilovich tanpa menoleh sedikitpun. Ia menebak respon ketiga temannya pasti tak akan menyenangkan kali ini.

“Ow Shit...!” Erast dan Dmitri yang duduk di belakang saling berpandangan. Kembali ke kota Kadykchan adalah konsekuensi yang wajib mereka tanggung karena keteledoran Gavrilovich.

“Kita harus kembali, Gavril!” tukas Agnessa tegas.

“What?!” Gavrilovich terkejut mendengar ucapan Agnessa. Jam tangannya menunjukkan sekarang sudah pukul tujuh malam. Waktu yang sudah cukup larut untuk sebuah perjalanan menuju ke kota Kadykchan. “Kita sudah terlalu jauh untuk kembali ke sana, Agnessa!”

“Dan besok adalah kesempatan terakhir kita untuk mempresentasikannya di depan Mr. Fredek, kau tau?” Erast menyela. Mr. Fredek adalah seorang dosen yang memberi mereka tugas untuk melakukan penelitian di kota Kadykchan terkait kemungkinan untuk kembali mengaktifkan penambangan batubara di sana.

“Kita harus kembali, Gavril!” Dmitri ikut mempertegas permintaan Agnessa.
“Damn it..” gerutu Gavrilovich lagi. Dengan cepat ia membanting setir mobilnya. Kaki kanannya menginjak pedal rem sedalam-dalamnya. Sedangkan tangan kanannya menarik tuas hand rem. Dengan sedikit aksi drifting, mobil sudah berhasil berbalik arah. Debu-debu tebal berterbangan di belakang mereka, roda mobil sempat mengusik tanah padas di kanan kiri jalan, saat mobilnya sempat berbalik arah tadi.  Gavrilovich mempercepat laju mobilnya. Dari atas terlihat seperti cahaya yang sedang membelah bumi. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah gurun bertanah padas. Tebing-tebing banyak yang menjulang tinggi di kejauhan sana.

“Kalian tahu, kota itu telah mati? Tak ada satupun kehidupan di sana,” ujar Gavrilovich sambil memutar lagu Toxicity milik System Of A Down kesukaannya.Seekor kucing hitam tiba-tiba berjalan ke tengah jalan raya. Gavrilovich tak punya cukup waktu untuk menghindari kucing itu. Brrakk!! 

“Aa...!!” Agnessa menjerit.
Tanpa terduga kucing itu melompat di depan kaca depan mobil, mengerang beberapa saat, dan kemudian jatuh.

“Kucing kurang ajar!” teriak Gavrilovich. Diam-diam bulu kuduknya mulai berdiri. Agnessa juga seperti merasakan firasat yang kurang baik di hatinya.

Kota Kadykchan tinggal beberapa meter lagi. Agnessa menoleh ke kiri. Ia seperti melihat seseorang berambut selutut berdiri di seberang jalan. Ponselnya yang terjatuh karena keterkejutannya, tak segera ia ambil. Ia masih berusaha melihat tempat orang itu berdiri.

Gavrilovich membelokkan mobilnya ke kanan. Memasuki sebuah jalan sempit menuju ke pusat kota Kadykchan. Sebelum perang dunia II pecah, Kadykchan adalah kota impian. Timah dan Batubara yang melimpah ruah di sana seolah akan menjadi ruh abadi kegemerlapan kota Kadykchan. Namun ternyata kota Kadykchan perlahan menemui kematiannya setelah Uni Soviet runtuh. Segala impian tentang kota Kadykchan kini telah rusak, berubah menjadi kota kematian.

Sekarang tak ada seorang pun yang masih menghuni kota seluas itu. Bangunan-bangunan gedung besar dan tinggi tak terawat, ditambah dengan rerumputan yang meninggi memberikan kesan angker pada kota Kadykchan. Konon ada yang pernah melihat anak-anak berwajah pucat sedang bermain di taman. Ada juga yang pernah melihat sosok perempuan berbaju putih berbahan sutera, rambutnya terurai sepanjang lutut, giginya bertaring, wajahnya berlubang-lubang dengan ulat-ulat sebesar jari kelingking yang keluar masuk dari lubang-lubang di wajahnya itu. Satu lagi, matanya menyala merah.

Banyak yang mengatakan ia adalah salah satu dari puluhan wanita yang dijadikan budak nafsu para tentara Uni Soviet sebelum perang dunia II. Konon namanya Maria. Bila mereka sudah menua, butir-butir senjata laras panjang akan menembus kepala mereka. Meninggalkan bercak darah di dinding-dinding pemukiman. Termasuk Maria yang ditembak di bagian pipinya. Kejam sekali.

Dari mulut ke mulut terceritakan, orang yang memasuki ke kota itu di malam hari bisa dipastikan tak akan pernah pulang lagi.

Sebuah gedung tua berlantai lima terlihat begitu sinis menyambut kedatangan mereka. Di bagian atas tembok gedung itu, tergambar sebuah srigala merah yang tengah berlari. Dmitri enggan untuk melihatnya lebih lama lagi. Ia membuang pandanganya ke kanan. Ia menemui ada sebuah taman kecil lengkap dengan tempat bermain anak yang telah usang dan berkarat.

Gavrilovich menghentikan mobilnya tepat di depan gedung itu. Masih terlihat sangat kokoh dengan tiang-tiang penyangga yang berdiameter satu meteran itu. Sebuah lampu senter ia ambil dari balik dasbor mobilnya.

“Teman-teman, tempat ini sudah lama tak berpenghuni. Segala kemungkinan bisa saja terjadi malam ini. Saya ingin kita tetap berjalan bersama, apapun yang terjadi. Jangan sampai ada yang memisahkan diri. Oke?” pesan Gavrilovich beberapa detik sebelum mematikan lampu mobilnya. Pet. Dalam sekejap dunia sedemikian pekatnya. Kini tinggal lampu senter saja yang menyala.

Satu persatu mereka keluar dari mobil. Menyisakan Dmitri yang masih mendekam di dalam mobil. Erast sedikit membungkuk untuk melihat Dmitri.

“Hei, ayo keluar..., Dasar penakut kamu!” Erast membukakan pintu mobil.

“Siapa yang takut, aku hanya merasa capek sekali nih!” kilah Dmitri.

Dmitri maupun Erast tak menyadari, ada sosok vampir perempuan yang duduk di samping Dmitri. Rambutnya terurai hingga ke alas mobil. Matanya merah, taring panjangnya siap menghisap dari Dmitri. Dmitri hanya merinding di lehernya. Bergegas ia keluar dari mobil, menyusul Erast dan yang lain.
Agnessa menggandeng erat tangan kiri Gavrilovich. Mereka perlahan mendekati pintu masuk gedung itu. De depan gedung itu, tinggi rerumputan hampir setinggi lutut mereka. Benda-benda bekas berserakan dimana-mana.

Perlahan Gavrilovich membuka pintu. Kepakan sayap kelelawar yang terbang keluar di atas mereka, membuat Agnessa terkejut. Ia mempererat pegangannya pada Gavrilovich. Dmitri kini juga berpindah mendekati Gavrilovich. Ia tak mau menjadi orang terakhir yang memasuki gedung itu.

“Aa..aaa..aa!!!” Dmitri teriak sekeras-kerasnya. Dengan sigap Gavrilovich membungkam mulut Dmitri.

“Kenapa?”

“Ada yang mencekik leherku,” tukas Dmitri sambil memegangi lehernya. Erast cekikikan karena keusilannya untuk menakut-nakuti Dmitri membuahkan hasil.

“Kamu jangan macam-macam, Erast!” Dmitri mengancam.
Brak!! Tiba-tiba pintu itu menutup sendiri. Agnessa dan Dmitri menjerit. “Ssstt..! Tenang. Bukan apa-apa, hanya angin saja yang membuat pintu itu tertutup,” Gavrilovich mencoba menenangkan kedua temannya.

“Berkasnya kamu taruh di mana, Gavril?” tanya Agnessa.
Angin yang berhembus kecang, menerobos kaca-kaca jendela yang telah pecah. Di balik kegelapan, ada beberapa kawanan tikus yang menyaksikan mereka. Gavrilovich mengarahkan senternya ke segala arah. Meja-meja berdebu tertata tak beraturan di sana. Bahkan rak berkas itu sudah roboh, meski sempat tertahan meja di depannya. Banyak sekali berkas berserakan di bawahnya. Juga bau kotoran tikus begitu menyengat di hidung mereka.

Gavrilovich tak begitu ingat dimana menaruh tasnya tadi. Di tas itu Gavrilovich menaruh semua dokumen penelitian mereka. Ketika mereka observasi siang tadi, semua lantai mereka naiki. Jadi tas itu mempunyai kemungkinan yang sama untuk berada di lantai manapun.

Tiba-tiba suara anak-anak yang tertawa, dan seperti sedang bermain-main, terdengar jelas sekali di telinga mereka. Sontak mereka semua terkejut. Hanya dalam lima detik, suara itu menghilang. Suasana seketika kembali senyap.

“Ah, itu mungkin hanya halusinasi kita saja, tenang!” ujar Erast. Ada satu hal yang tak mereka sadari, kalau memang itu halusinasi, kenapa semua mendengarkan suara yang sama.

Mereka melanjutkan langkahnya menaiki tangga pertama gedung itu. Maria kian tak tahan menahan gairah untuk menghisap darah mereka. Sudah lama sekali ia tak merasakan darah segar. Ia melayang melintas di atas mereka. Ia berencana akan menghisap satu per satu darah mereka di lantai dua nanti.
Ia hanya butuh saat yang tepat untuk melakukan materialisasi tubuhnya. Materialisasi ia butuhkan untuk bisa menghisap darah manusia. Ia tak mungkin menghisapnya dalam kondisi dematerial. Ia telah menggantung di plafon lantai dua. Kepalanya berada di bawah, sedangkan kedua telapak kakinya menempel di plafon. Rambut panjangnya terurai ke bawah.

Sorot senter mulai memasuki lantai dua. Gavrilovich menyorotkan senternya ke seluruh penjuru ruangan. Lantai dua ini jauh lebih berantakan dari pada lantai pertama. Sampah kertas dan plastik tumpah ruah di lantai. Banyak sawang sudah menebal menggelayuti sudut-sudut ruangan itu.

“Pulang aja, Yuk! Lupakan Mr. Fredek. Aku takut banget Gav...,” Agnessa merengek. Padahal ia yang pertama kali meminta kembali ke sini. Kalau ia tau suasana seseram ini, ia tak akan melakukan hal konyol ini.

“Bukannya tadi kamu yang ngotot ngajak balik?” Gavrilovich bertanya balik.

“Udah.. udah Gavril, lupakan semua. Aku merasa tidak baik untuk berada di sini lebih lama lagi. Ayo Grav!!” Agnessa merengek.

“Ah... Kamu tuh apa-apaan sih? Percuma dong kita jauh-jauh kembali ke sini? Lanjutkan!!” Erast sedikit emosi karena kelakuan Agnessa.

“Aaa....!!!” Agnessa menjerit kala melihat sosok Maria yang sedang menggantung di atas. Maria sontak melayang turun mendekati mereka. Semakin dekat Agnessa semakin menjerit. Maria menyerang orang yang paling dekat dengannya. Erast. Tangannya mencengkeram kedua lengan Erast dari belakang. Lengan Erast berdarah karena cengkeraman tajamnya kuku-kuku Maria. Erast tak bisa berkelit. Dmitri berlari menjauh, begitu juga dengan Agnessa. Sedangkan Gavrilovich berusaha menarik tangan Erast. Celaka!!! Maria berhasil menggigit leher Erast. Buas, penuh gairah. Maria menghisap tuntas darah Erast. Tubuh Erast mengejang dan akhirnya terkulai ke lantai.

“Ha ha ha ha...” Maria tertawa keras memekakkan telinga. Sejenak ia kembali terbang ke atas. Kali ini ia menempel di sudut plafon. Rambutnya yang panjang tergerai, dan matanya yang kian menyala kemerahan, membuat siapapun ngeri ketakutan melihatnya. Mulutnya bersimbah darah Erast.

Gavrilovich menggandeng tangan Agnessa. Lalu ia membisikkan kata “Lari!” pada Dimitri. Sejenak ia melihat tubuh Erast yang masih tergeletak di lantai. “Lari!!!” teriak Gavrilovich. Mereka bertiga berlari menuju ke lantai dasar. Tangga yang mereka lewati ini terasa begitu panjang dan merepotkan langkah.
Sedangkan Maria, terbang keluar melalui jendela yang tak lagi berkaca itu. Tak butuh waktu lama, Maria sudah sampai di lantai bawah. Bahkan lebih cepat dari mereka bertiga. Agnessa hanya bisa berteriak-teriak ketakutan. Dmitri panik, ia terjatuh saat berusaha lari kembali ke lantai dua.

Gavrilovich berhasil membawa Agnessa kembali ke lantai dua. Pandangannya tertuju ke segala arah. Mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk menyerang Maria. Dari balik meja ia menemukan sebuah potongan besi kecil.

Di lantai satu, Maria sudah puas menghabisi darah Dmitri. Tak hanya itu, ia lalu melempar tubuh Dmitri jauh ke luar gedung, menerabas dan memecahkan jendela kaca di sana.

Gavrilovich masih mencari posisi seaman mungkin. Bersiap siaga untuk menghadapi terjangan Maria. Agnessa menyembunyikan diri di balik punggung Gavrilovich. Ia menoleh ke sana kemari, karena Maria bisa saja datang dari mana saja. Suasana begitu senyap dan pekat. Tak ada sesuatu yang bisa dilihat, kecuali sisi luar gedung yang sedikit tertempa cahaya rembulan.

“Gavril, aku takut...” bisik Agnessa.

Gavrilovich tak menjawab. Ia hanya mengeratkan pegangan tangannya pada tangan Agnessa. Maria tiba-tiba datang melayang cepat menerkam kaki Gavrilovich. Maria membawa Gavrilovich dengan kondisi terbalik. Kakinya dicengekeram kuat dan kepalanya menghadap ke arah Agnessa.

“Lari! Cepat lari Agnessa. Cepat keluar dari gedung ini!” teriak Gavrilovich. Agnessa gelisah, tak tau apakah ia harus menuruti kata-kata Gavrilovich atau tetap di sini, menemaninya. “Agnessa, cepat lari!! A....!” Aliran  darah mengalir deras dari kakinya. Kuku-kuku tajam di jari-jari tangan Maria dengan mudah mengoyak kakiknya. Agnessa akhirnya memutuskan untuk lari. Tapi sial, pintu gedung itu terkunci. Ia melihat ada jendela kaca yang telah pecah. Ia melompat dari sana. Dengan langkah gontai ia terus berlari. Bruk... Ia jatuh tepat di pinggir tubuh Erast. Ia menjerit ketakutan.    

Maria semakin bernafsu untuk segera menghisap darahnya. Tapi Gavrilovich terus menggerak-gerakkan tubuhnya, berharap bisa terlepas dari cengkeraman Maria. Ia memukulkan besi yang ada ditangannya itu ke arah wajah Maria. Pukulan itu berhasil mengenai bagian pipi yang berlubang dan menjadi sarang ulat itu.

Maria geram. Ia melempar tubuh Gavrilovich ke dinding gedung itu keras sekali. Tubuhnya sempat membentur meja sebelum akhirnya terjatuh ke lantai. Gavrilovich terkapar. Kepalanya berdarah, mengalir membasahi pelipis dan pipinya. Besi yang ada di tangannya tadi mencelat ke sisi yang berjauhan dengannya. Dengan cepat Maria meraih tangan Gavrilovich dan dengan beringas menggigit lehernya. Bahkan darah itu muncrat ke wajah Maria, karena gigitannya yang buas sekali.

Agnessa terus berlari menjauh dari gedung tua itu. Dia baru saja gagal membuka pintu mobil yang tadi diparkir di depan gedung itu. Nafasnya tak beraturan. Jantungnya berdetak begitu cepatnya. Nafasnya memberat tak beraturan.

Ia menoleh ke belakang saat Maria tertawa keras sekali sambil terbang meninggi di atasnya. Maria masih tertawa-tawa, menciutkan harapan Agnessa untuk bisa terlepas darinya. Langkahnya terhenti di bawah truk tua yang merongsok di sana, sambil sejenak mengatur nafas. Saat ia mendongak ke atas, Maria masih berada di sana. Rambut dan bajunya melambai-lambai. Di mata Agnessa itu terlihat lebih seperti malaikat maut yang mengundangnya menuju rumah kematian.

Kini dia menyelinap di bawah truk tua itu. bersama tikus-tikus besar yang merangsek ke tubuhnya. Tangannya berusaha menyingkirkan tikus-tikus itu. Belum sempat tikus itu terenyah, tiba-tiba kedua kakinya ditarik oleh Maria. Tangannya sempat meraba-raba, mencari apapun yang bisa dia gunakan untuk menyerang. Ia menjerit histeris, dan berusaha sebisa mungkin untuk bisa terlepas dari makhluk mengerikan itu.

Maria membawanya terbang dengan mencengkeram satu kakinya. Maria menjatuhkan Agnessa di dekat dekat sumur besar dan gelap. Sumur itu adalah bekas aktifitas penambangan batubara, puluhan tahun yang lalu. Tubuhnya terpelanting beberapa meter, hampir saja ia tercebur ke dalam sumur itu.

Awan gemawan kini telah membebaskan cahaya rembulan untuk menerangi bumi. Pelipis Agnessa berdarah setelah terantuk batu saat tubuhnya terpelanting tadi. Maria mengambang tepat di atasnya. Kini ia bisa melihat dengan jelas bagaimana ulat-ulat itu menggerogoti pipi Maria. Wajahnya sebagian tertutup oleh rambut Maria. Gairah Maria seperti menusuk relung hati Agnessa. Maria menjilat darah yang mengalir di pelipis Agnessa itu. Bau busuk tubuh Maria begitu menyengat di hidung Agnessa.

Agnessa mencoba sedikit menghindar. Maria terus memandangi wajah Agnessa yang mulai menangis ketakutan. Ingatan-ingatan masa lalu berkelebatan dalam ingatan Maria. Memandangi wajah Agnessa membuatnya teringat pada seseorang yang bernama Kira. Sebelum dia dimasukkan dalam kamp wanita oleh para tentara Uni Soviet, ia menyuruh Kira untuk melarikan diri, menjauh dari desanya sejauh mungkin. Dan saat itu usia Kira hampir seumuran dengan Agnessa sekarang.

Wajah Maria berubah. Matanya yang tadi bersinar merah, kini berubah seperti mata manusia biasa. Meski wajah itu mengerikan, tapi Agnessa masih bisa menerka kesedihan di balik wajah itu. Ia masih diam. Terlintas keinginan konyol untuk melarikan diri dari makhluk menjijikkan ini. Tapi ia tau itu tak mungkin. Kini ia hanya bisa pasrah, antara hidup dan mati.

“Kira...!? Kira...?!” Maria memanggilnya Kira. Agnessa terbelalak mendengar nama mamanya disebut-sebut Maria. Agnessa makin merinding. Maria kini beralih ke samping Agnessa yang masih berdiri. “Kira...?!”

“Aku Agnessa...” Ia memberanikan diri berbicara. “Kira itu ibuku...”

“Kira...!” kali ini tangan Maria memegangi kalung cristal piramid yang dipakai oleh Maria.

“Iya... kalung ini pemberian Kira...!” ucap Agnessa. Bulu romanya berdiri karena merinding. Sedikit banyak ia menyadari ada keterkaitan antara dirinya dengan Maria.

“Kira..?!” Maria seperti memastikan bahwa kalung itu milik Kira.

“Iya... Kira... Kalung ini pemberian Kira, Ibuku..!! Siapa sebenarnya dirimu?!” Agnessa tak tahan untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Agnessa teringat pada cerita ibu yang mengatakan bahwa neneknya bernama Maria, telah menjadi tahanan di kamp perempuan, di kota Kadykchan.

“Maria?!!?!” Agnessa menebak makhluk di sampingnya ini adalah Maria. Agnessa bangkit. “Kau... Maria?!!”

Maria akhirnya mengangguk perlahan. Agnessa seperti tak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya kini. Ia bertemu dengan neneknya dalam keadaan seperti ini. tangisnya pecah. Ia tak tahan ingin memeluk neneknya.

“Grand Ma, I miss you...!!”
***
Cerpen ini diikutkan dalam event #HororKotaDunia yang diadakan oleh DIVA Press. Gagal Lolos. Gagal Horor :D Bellaa... tolong aku!!!!.... :D

2 comments:

  1. :o Bella??
    siapa Bella? :D
    cerpennya super panjang kakak
    maaf aku belum selesai :')
    mungkin lain kali ku teruskan membacanya -_-
    Tetap spiriiiiiiiittttttttttt!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Dik. Rule-nya emang segitu.. Makasih ya... Bella itu si Ratu Horor :D ini twitternya >>>> https://twitter.com/Bella_FaZriine

      Delete