Perempuan itu masih
memegang palu di tangannya, saat aku mendatanginya dini hari itu. Batu-batu koral sudah menggunung di sisi perempuan itu. Sejenak ia menoleh padaku, tapi dia tetap
tak bergeming. Dia masih saja memecahi bebatuan sebesar kepalan tanganku yang
masih menumpuk di depannya itu. Wajahnya kusut, sekusut pakaian yang ia
kenakan. Bulir air mata
tertahan di kelopak mataku, hingga akhirnya terjatuh membuat titik basah di
jilbabku.
“Ibu...!” aku
mendekapnya erat. Biarlah tangan berpalu itu terbeku sejenak dalam pelukku.
Tumpahan air mataku kian membasahi bajunya yang telah basah oleh keringatnya.
Perempuan itu masih diam tak bereaksi. Mungkin diam itu adalah reaksi terbaik
yang dipilihnya. Buliran air mata menggantung di ujung kelopak matanya. Kutahu
pandangannya masih kosong.
Masih kuingat jelas bagaimana
wajah lelaki bangsat yang baru saja kutemukan jidatnya kemarin. Aku
mengharamkan diriku memanggilnya ayah. Meski dialah yang menanam benihku di
rahim ibuku. Lelaki yang ingin kupanahkan seribu kutukan padanya, atas semua
perbuatannya yang seperti kucing liar itu.
***
Dulu ketika aku masih
kecil, ayahku hanyalah seorang pengangguran. Sesekali dia membantu ibuku yang
setiap hari mengais batu di kali dekat rumah. Aku masih ingat dengan jelas,
ayah berkali-kali mengatakan “Aku tak pantas bekerja seperti itu, lagian kapan
kayanya kerja seperti itu?” Ibuku tak pernah memberi tanggapan apapun atas sikap ayah yang
seperti itu. Biasanya ayah akan mengingatkan ibu tentang asal-usul ayah yang
dari Surabaya, lalu deretan cerita membangga-banggakan Surabaya dan masa
lalunya akan mengalir tak kurang dari satu jam.
Alhamdulillah, dari
mengais batu-batu kali itu, ibu sudah bisa memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, meskipun pas-pasan. Kebutuhan sekolah dan uang saku pun sanggup
ibu berikan. Bahkan untuk beli rokok ayah sehari-hari pun ibu penuhi.
Aku tahu, cinta ibu
kepada ayah amatlah besar. Setiap hari ibu mengabdi tiada keluh untuk suaminya
itu. Ibu sudah mempersiapkan sarapan sebelum suaminya bangun. Secangkir kopi
juga sudah tersedia di meja samping tempat tidurnya, lengkap dengan rokoknya. Ibu
melakukan semua itu dengan sepenuh hati. Tapi rupanya itu semua tak cukup untuk
membuat ayah bersyukur.
Suara syahdu merayu
hanya terdengar ketika ayah sedang butuh pelampiasan nafsu. Entah dengan cinta.
Atau hanya sekedar nafsu. Aku tahu, ibu pasti melayaninya dengan penuh cinta.
Hingga pada suatu hari,
semakin banyak orang yang ikut mengais bebatuan kali untuk dijadikan batu
koral. Padahal kali itu hanyalah kali kecil. Bebatuan yang ada pun tak sebanyak
di kali-kali pegunungan. Sehingga ibu harus rela berbagi batu dengan warga yang
lain. Penghasilan ibu pun berkurang.
Aku berkata-kata keras,
saat ibu pertama kali tak memberiku uang saku. Aku mengancam tidak akan masuk
sekolah kalau tidak dikasih uang saku. Ibu tetap tak memberikan uang saku itu.
Aku pun membuktikan ancamanku. Berhari-hari aku tak masuk sekolah hanya karena
tak ada uang saku dari ibu.
Ayah lebih parah lagi.
Tiap pagi dia ngamuk-ngamuk karena tidak disediakan kopi dan rokok di
sampingnya. Hanya ada sepiring nasi dan lauknya untuk sarapan saja. Ibuku hanya
diam menahan tangis, tiap kali ayah marah-marah seperti orang kesetanan. Dan
ibu harus menebalkan muka, menahan malu, ketika berhadapan dengan orang lain.
Saat ayah semakin tak
tahan dengan keadaan ini, ayah membujuk rayu ibu agar menjual sedikit tanah
warisan ibunya. Ayah berencana akan bekerja sebagai TKI di Malaysia. Ibu akhirnya
mengabulkan permintaan ayah, setelah segala cara ayah lakukan agar keinginannya
itu terpenuhi. Ibu menjual tanahnya. Ayahpun berangkat.
Jutaan harapan
ditaburkan oleh ayah. Mulai dari membangun rumah yang bagus, membeli tanah
lagi, hingga membeli sebuah sepeda motor keluaran terbaru. Ibu tersenyum bangga
pada suaminya. Tentu saja cintanya makin ganda berlipat-lipat.
Setelah sebulan lebih
ayah bekerja, ayah berkirim surat. Aku membacakannya untuk ibu, karena ibuku
tak pernah lulus sekolah dasar. Baginya huruf-huruf itu hanya seperti morse
aneh yang tak dapat dibaca. Dalam suratnya ayah mengatakan rindu pada ibu,
rindu padaku dan rindu pada suasan rumah. Ayah juga memberi kabar, bahwa ayah
belum bisa mengirimkan uang, karena belum mendapatkan gaji penuh. Gajinya hanya
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Ibuku menangis. Bukan
karena ayah tidak mengirim uang. Tapi karena ia merasa kasihan pada suaminya
yang telah bekerja keras membanting tulang di negeri orang. Dan mungkin ibu
juga merindukannya.
Aku yang pernah mogok
tak masuk sekolah, saat itu mulai menyadari bahwa tak seharusnya aku berbuat
seperti itu. Meskipun pada akhirnya, ibu kembali sanggup memberiku uang saku.
Bahkan aku mulai menyadari sepenuhnya bahwa pendidikan ini penting sekali untuk
masa depanku. Pak Ruskandarlah yang berhasil menanamkan itu di benakku. Beliau
adalah guru Bahasa Indonesia di sekolahku dulu.
Aku mulai ikut membantu
ibu mengais rezeki. Menabung sedikit demi sedikit, semata-mata agar aku bisa
terus melanjutkan pendidikanku. Ibu sering melarangku membantu mencari batu di
kali. Ibu hanya menyuruhku belajar dan belajar.
“Kamu harus jadi orang
pintar Nak, jangan seperti ibumu!” kalimat itu yang selalu terlontar dari mulutnya
saat aku ingin membantunya. Waktu demi waktu ibu hanya bergelut dengan batu dan
palu. Tak pernah ada keluh yang kudengar dari mulutnya. Hanya sesekali dia
menanyakan apakah sudah ada kiriman surat dari ayah atau belum.
Bulan ke dua, ke tiga
dan sampai akhirnya aku lulus SMA, tak pernah sekalipun ayah mengirim surat.
Rupanya surat ayah dulu itu adalah surat pertama dan terakhir.
Tersirat jelas ada
kesedihan di wajah ibu, meskipun ibu berusaha sekuat tenaga agar aku tak
mengetahuinya. Ibu hanya lebih sering diam. Ibu makin menyibukkan diri dengan
palu dan batu-batu itu.
“Nak, kamu harus
kuliah!” suara itu serasa hujan di tengah kemarau panjang. Aku hanya diam
menanti ibu bicara lagi. Ibu bangkit dari dingkliknya.
Berjalan sedikit membungkuk karena terlalu lamanya duduk. Mengambil celengan dari atas lemari tua itu.
“Prrraakkgkk....” ibu
membantingnya ke tanah. Uang dengan bermacam-macam pecahan itu tumpah
berserakan. Lalu ibu mengumpulkannya.
“Ini buat biaya kamu
kuliah, Nak!”
“Tapi nanti siapa yang
menemani Ibu?”
“Ibu bisa hidup sendiri,
yang terpenting adalah kamu harus jadi orang pintar, Nak, jangan seperti ibu!
Juga supaya ketika nanti ayahmu pulang, beliau akan bangga melihatmu telah
menjadi seorang sarjana!” Tangisan ibu memecah keheningan malam itu. Makin lama
makin menjadi. Aku memeluknya.
Ibu masih mengharapkan
kepulangan ayah. Padahal sudah delapan tahun berlalu. “Besok kamu harus
berangkat, Nak! Sekarang persiapkan dulu barang-barang yang akan kamu bawa
nanti.” Saat mengemasi barang-barangku, aku menemukan dua buah buku kecil
usang, bersampul merah dan hijau, yang ternyata adalah buku nikah milik ayah
dan ibuku. Kumasukkan keduanya di dalam tas, sebagai pengganti keberadaan
mereka berdua. Agar ketika aku rindu nanti, buku itu yang menjadi pengobatnya.
Aku menyempatkan waktu
untuk pergi ke Kantor Pos sejenak, sebelum aku benar-benar pergi ke Surabaya.
Aku berharap sekali ada surat yang dikirmkan oleh ayah di sana. Tapi ternyata
aku harus membuang jauh-jauh harapan itu.
***
Aku berharap besar
wisuda nanti ada ayah dan ibuku di sampingku. Aku ingin membuat ibu bahagia.
Aku ingin membuat ibu bangga telah melahirkanku. Aku ingin membuat ibu tak
menyesal mendidik dan merawatku. Aku ingin memberikan sedikit kebahagian pada
ibu atas segala jerih payahnya selama ini. Dan sebagai hadiah aku berusaha
mencarikan ayah untuk ibu.
Aku mencari data-data
di berbagai tempat untuk menemukan sebuah nama, “Suparlan” yang tidak lain
adalah ayahku sendiri. Semua teman kuliahku dan semua koneksi yang aku punya
yang kemungkinan memiliki akses data TKI, data kependudukan dan ketenagakerjaan
aku mintai tolong untuk mencari nama “Suparlan” itu.
“Kamu punya data identitas
ayahmu nggak, Nis?” tanya salah seorang temanku yang bernama Ayu Sukma.
“Nggak ada, Yu, sudah 13
tahun aku tak bertemu ayahku! Yang aku ingat, ayahku punya tompel kecil di dahi
kanannya, Yu!” jawabku putus asa. Hampir semua temanku tak bisa memberikan data
seseorang yang mungkin itu adalah ayahku.
Hendi yang punya akses
informasi data TKI sebenarnya telah menemukan beberapa nama “Suparlan” yang
menjadi TKI. Tapi tak ada satupun yang alamat rumahnya Surabaya ataupun
Bojonegoro.
Aku pulang ke tempat
kos dengan tubuh lunglai tak berdaya. Harapanku untuk memberikan secercah
kebahagiaan pada ibu mungkin harus kukubur dalam-dalam. Aku hanya bisa menghela
nafas.
Kusandarkan punggungku
ke almari baju di kamarku. Menyeruak rindu pada ibuku. Terlintas berkelebatan
di ingatanku semua yang dilakukan oleh ibu untukku. Ibuku tak pernah bisa
merasakan kebahagiaan selama hidupnya. Ibu yang selalu mengerahkan semua
tenaganya untukku, dan juga untuk suaminya. Ibu yang rela membakar dirinya
sendiri, demi menerangi kehidupan orang lain. “Oh Tuhan.... !!” Tubuhku
terkapar di lantai kamar itu. Aku tak sanggup lagi menahan air mata yang sejak
tadi tumpah ruah dalam hatiku. “Tuhan, ijinkanlah aku bertemu dengan ayahku,
agar aku bisa memberikan sedikit kebahagian untuk ibu...."
Akhirnya putuskan saja untuk melupakan semua tentang ayah. Rasanya tak mungkin aku menemukannya. Aku akan pulang saja dulu menjemput ibu. Kukemasi beberapa baju dari
dalam almari. Ada sesuatu yang jatuh ke lantai. Subhanallah, ternyata itu adalah buku nikah ayah dan ibuku. Aku lupa telah
menyimpannya di dalam almari. Secercah harapan kembali bersinar di
hatiku. Kuambil HPku dan segera menelepon Ayu.
“Ayu di sini. Ada kabar?”
“Aku menemukan
identitas ayahku, Yu!”
***
Ayu berinisiatif
mengetuk pintu rumah itu mendahuluiku. Perempuan sedikit lebih muda dari aku
membukakan pintu. “Apa benar ini rumah Bapak Suparlan?” tanya Ayu.
“Iya benar,”
“Bapak sedang berada di
rumah?”
“Iya ada, silahkan
masuk!”
Dari ruang tamu itu terdengar
suara perempuan lain yang sepertinya lebih tua dari yang membukakan pintu tadi.
Perempuan seumuran ibuku keluar dari dalam, dan menemui kami di ruang tamu. Detak
jantungku terpacu, seiring keringat dingin yang meleleh di wajah dan sekujur
tubuhku.
Saat itu Ayu yang lebih
banyak bicara. Tiba-tiba dia mengeluarkan beberapa peralatan kosmetik. Aku baru
menyadari bahwa di berpura-pura menjadi sales girl. Hingga akhirnya laki-laki
itu datang, dan ikut nimbrung dalam pembicaraan Ayu dan perempuan itu. Bahkan
dalam sekejap, ayu sudah berhasil memperoleh identitas kedua orang itu dari
mereka. Kemudian kuketahui identitas yang ada di KTP itu terdapat nama dan
tanggal lahir yang sama dengan yang ada di buku nikah itu.
Aku menghirup nafas
dalam-dalam. Aku belum berani menatap wajah laki-laki itu. Berbagai kemungkinan
berseliweran di benakku. Aku tak ingin menerima kemungkinan terburuk.
“Produk ini dari
Bojonegoro, Ibu!” kata Ayu.
“Bojonegoro?!” laki-laki tersentak. “Kalau
boleh tau Bojonegoro mana, Mbak?”
“Tepatnya di Kecamatan
Ngasem Bapak. Apa Bapak tahu atau pernah ke sana?” tanya Ayu menyelidik.
“Pernah, tapi sudah
lama sekali, Mbak!” jawab laki-laki itu. Kuberanikan diri untuk menatap
wajahnya. Kupandang wajahnya.
“Astaghfirullohal
‘adhim...!” Kulihat ada tompel kecil di dahinya.
Nafasku sengal tak
beraturan. Aku segera berdiri, lalu merobohkan meja kaca itu hingga pecah tak
karuan.
“Laki-laki Bangsat!!!”
Teriakku padanya. Lalu kulemparkan buku nikah itu ke wajahnya
***
Cerpen ini diikutkan dalam Lomba Cerpen #EverlastingWomen yang diadakan oleh DIVA Press dan UNSA. Gagal.
True story..
ReplyDeleteCerpen yang bagus, endingnya keren..
Semoga menang ya kak :)
Ini udah kalah dik, makanya aku posting :D
ReplyDeleteTetap semangat kakak ;)
ReplyDeleteIya, tadi sudah baca postingan Pak Edi Akhiles, cerpen siapa saja yang menang :)
Makasih, Dik.
ReplyDelete