Wednesday, March 12, 2014

Secercah Kebahagiaan untuk Ibu



Perempuan itu masih memegang palu di tangannya, saat aku mendatanginya dini hari itu. Batu-batu koral sudah menggunung di sisi perempuan itu. Sejenak ia menoleh padaku, tapi dia tetap tak bergeming. Dia masih saja memecahi bebatuan sebesar kepalan tanganku yang masih menumpuk di depannya itu. Wajahnya kusut, sekusut pakaian yang ia kenakan. Bulir air mata tertahan di kelopak mataku, hingga akhirnya terjatuh membuat titik basah di jilbabku.

“Ibu...!” aku mendekapnya erat. Biarlah tangan berpalu itu terbeku sejenak dalam pelukku. Tumpahan air mataku kian membasahi bajunya yang telah basah oleh keringatnya. Perempuan itu masih diam tak bereaksi. Mungkin diam itu adalah reaksi terbaik yang dipilihnya. Buliran air mata menggantung di ujung kelopak matanya. Kutahu pandangannya masih kosong. 

Masih kuingat jelas bagaimana wajah lelaki bangsat yang baru saja kutemukan jidatnya kemarin. Aku mengharamkan diriku memanggilnya ayah. Meski dialah yang menanam benihku di rahim ibuku. Lelaki yang ingin kupanahkan seribu kutukan padanya, atas semua perbuatannya yang seperti kucing liar itu.
***
Dulu ketika aku masih kecil, ayahku hanyalah seorang pengangguran. Sesekali dia membantu ibuku yang setiap hari mengais batu di kali dekat rumah. Aku masih ingat dengan jelas, ayah berkali-kali mengatakan “Aku tak pantas bekerja seperti itu, lagian kapan kayanya kerja seperti itu?” Ibuku tak pernah memberi tanggapan apapun atas sikap ayah yang seperti itu. Biasanya ayah akan mengingatkan ibu tentang asal-usul ayah yang dari Surabaya, lalu deretan cerita membangga-banggakan Surabaya dan masa lalunya akan mengalir tak kurang dari satu jam.
Alhamdulillah, dari mengais batu-batu kali itu, ibu sudah bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, meskipun pas-pasan. Kebutuhan sekolah dan uang saku pun sanggup ibu berikan. Bahkan untuk beli rokok ayah sehari-hari pun ibu penuhi.
Aku tahu, cinta ibu kepada ayah amatlah besar. Setiap hari ibu mengabdi tiada keluh untuk suaminya itu. Ibu sudah mempersiapkan sarapan sebelum suaminya bangun. Secangkir kopi juga sudah tersedia di meja samping tempat tidurnya, lengkap dengan rokoknya. Ibu melakukan semua itu dengan sepenuh hati. Tapi rupanya itu semua tak cukup untuk membuat ayah bersyukur.
Suara syahdu merayu hanya terdengar ketika ayah sedang butuh pelampiasan nafsu. Entah dengan cinta. Atau hanya sekedar nafsu. Aku tahu, ibu pasti melayaninya dengan penuh cinta.
Hingga pada suatu hari, semakin banyak orang yang ikut mengais bebatuan kali untuk dijadikan batu koral. Padahal kali itu hanyalah kali kecil. Bebatuan yang ada pun tak sebanyak di kali-kali pegunungan. Sehingga ibu harus rela berbagi batu dengan warga yang lain. Penghasilan ibu pun berkurang.
Aku berkata-kata keras, saat ibu pertama kali tak memberiku uang saku. Aku mengancam tidak akan masuk sekolah kalau tidak dikasih uang saku. Ibu tetap tak memberikan uang saku itu. Aku pun membuktikan ancamanku. Berhari-hari aku tak masuk sekolah hanya karena tak ada uang saku dari ibu.
Ayah lebih parah lagi. Tiap pagi dia ngamuk-ngamuk karena tidak disediakan kopi dan rokok di sampingnya. Hanya ada sepiring nasi dan lauknya untuk sarapan saja. Ibuku hanya diam menahan tangis, tiap kali ayah marah-marah seperti orang kesetanan. Dan ibu harus menebalkan muka, menahan malu, ketika berhadapan dengan orang lain.
Saat ayah semakin tak tahan dengan keadaan ini, ayah membujuk rayu ibu agar menjual sedikit tanah warisan ibunya. Ayah berencana akan bekerja sebagai TKI di Malaysia. Ibu akhirnya mengabulkan permintaan ayah, setelah segala cara ayah lakukan agar keinginannya itu terpenuhi. Ibu menjual tanahnya. Ayahpun berangkat.
Jutaan harapan ditaburkan oleh ayah. Mulai dari membangun rumah yang bagus, membeli tanah lagi, hingga membeli sebuah sepeda motor keluaran terbaru. Ibu tersenyum bangga pada suaminya. Tentu saja cintanya makin ganda berlipat-lipat.
Setelah sebulan lebih ayah bekerja, ayah berkirim surat. Aku membacakannya untuk ibu, karena ibuku tak pernah lulus sekolah dasar. Baginya huruf-huruf itu hanya seperti morse aneh yang tak dapat dibaca. Dalam suratnya ayah mengatakan rindu pada ibu, rindu padaku dan rindu pada suasan rumah. Ayah juga memberi kabar, bahwa ayah belum bisa mengirimkan uang, karena belum mendapatkan gaji penuh. Gajinya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Ibuku menangis. Bukan karena ayah tidak mengirim uang. Tapi karena ia merasa kasihan pada suaminya yang telah bekerja keras membanting tulang di negeri orang. Dan mungkin ibu juga merindukannya.
Aku yang pernah mogok tak masuk sekolah, saat itu mulai menyadari bahwa tak seharusnya aku berbuat seperti itu. Meskipun pada akhirnya, ibu kembali sanggup memberiku uang saku. Bahkan aku mulai menyadari sepenuhnya bahwa pendidikan ini penting sekali untuk masa depanku. Pak Ruskandarlah yang berhasil menanamkan itu di benakku. Beliau adalah guru Bahasa Indonesia di sekolahku dulu.
Aku mulai ikut membantu ibu mengais rezeki. Menabung sedikit demi sedikit, semata-mata agar aku bisa terus melanjutkan pendidikanku. Ibu sering melarangku membantu mencari batu di kali. Ibu hanya menyuruhku belajar dan belajar.
“Kamu harus jadi orang pintar Nak, jangan seperti ibumu!” kalimat itu yang selalu terlontar dari mulutnya saat aku ingin membantunya. Waktu demi waktu ibu hanya bergelut dengan batu dan palu. Tak pernah ada keluh yang kudengar dari mulutnya. Hanya sesekali dia menanyakan apakah sudah ada kiriman surat dari ayah atau belum.
Bulan ke dua, ke tiga dan sampai akhirnya aku lulus SMA, tak pernah sekalipun ayah mengirim surat. Rupanya surat ayah dulu itu adalah surat pertama dan terakhir.
Tersirat jelas ada kesedihan di wajah ibu, meskipun ibu berusaha sekuat tenaga agar aku tak mengetahuinya. Ibu hanya lebih sering diam. Ibu makin menyibukkan diri dengan palu dan batu-batu itu.
“Nak, kamu harus kuliah!” suara itu serasa hujan di tengah kemarau panjang. Aku hanya diam menanti ibu bicara lagi. Ibu bangkit dari dingkliknya. Berjalan sedikit membungkuk karena terlalu lamanya duduk. Mengambil celengan dari atas lemari tua itu.
“Prrraakkgkk....” ibu membantingnya ke tanah. Uang dengan bermacam-macam pecahan itu tumpah berserakan. Lalu ibu mengumpulkannya.
“Ini buat biaya kamu kuliah, Nak!”
“Tapi nanti siapa yang menemani Ibu?”
“Ibu bisa hidup sendiri, yang terpenting adalah kamu harus jadi orang pintar, Nak, jangan seperti ibu! Juga supaya ketika nanti ayahmu pulang, beliau akan bangga melihatmu telah menjadi seorang sarjana!” Tangisan ibu memecah keheningan malam itu. Makin lama makin menjadi. Aku memeluknya.
Ibu masih mengharapkan kepulangan ayah. Padahal sudah delapan tahun berlalu. “Besok kamu harus berangkat, Nak! Sekarang persiapkan dulu barang-barang yang akan kamu bawa nanti.” Saat mengemasi barang-barangku, aku menemukan dua buah buku kecil usang, bersampul merah dan hijau, yang ternyata adalah buku nikah milik ayah dan ibuku. Kumasukkan keduanya di dalam tas, sebagai pengganti keberadaan mereka berdua. Agar ketika aku rindu nanti, buku itu yang menjadi pengobatnya.
Aku menyempatkan waktu untuk pergi ke Kantor Pos sejenak, sebelum aku benar-benar pergi ke Surabaya. Aku berharap sekali ada surat yang dikirmkan oleh ayah di sana. Tapi ternyata aku harus membuang jauh-jauh harapan itu.
***
Aku berharap besar wisuda nanti ada ayah dan ibuku di sampingku. Aku ingin membuat ibu bahagia. Aku ingin membuat ibu bangga telah melahirkanku. Aku ingin membuat ibu tak menyesal mendidik dan merawatku. Aku ingin memberikan sedikit kebahagian pada ibu atas segala jerih payahnya selama ini. Dan sebagai hadiah aku berusaha mencarikan ayah untuk ibu.
Aku mencari data-data di berbagai tempat untuk menemukan sebuah nama, “Suparlan” yang tidak lain adalah ayahku sendiri. Semua teman kuliahku dan semua koneksi yang aku punya yang kemungkinan memiliki akses data TKI, data kependudukan dan ketenagakerjaan aku mintai tolong untuk mencari nama “Suparlan” itu.
“Kamu punya data identitas ayahmu nggak, Nis?” tanya salah seorang temanku yang bernama Ayu Sukma.
“Nggak ada, Yu, sudah 13 tahun aku tak bertemu ayahku! Yang aku ingat, ayahku punya tompel kecil di dahi kanannya, Yu!” jawabku putus asa. Hampir semua temanku tak bisa memberikan data seseorang yang mungkin itu adalah ayahku.
Hendi yang punya akses informasi data TKI sebenarnya telah menemukan beberapa nama “Suparlan” yang menjadi TKI. Tapi tak ada satupun yang alamat rumahnya Surabaya ataupun Bojonegoro.
Aku pulang ke tempat kos dengan tubuh lunglai tak berdaya. Harapanku untuk memberikan secercah kebahagiaan pada ibu mungkin harus kukubur dalam-dalam. Aku hanya bisa menghela nafas.
Kusandarkan punggungku ke almari baju di kamarku. Menyeruak rindu pada ibuku. Terlintas berkelebatan di ingatanku semua yang dilakukan oleh ibu untukku. Ibuku tak pernah bisa merasakan kebahagiaan selama hidupnya. Ibu yang selalu mengerahkan semua tenaganya untukku, dan juga untuk suaminya. Ibu yang rela membakar dirinya sendiri, demi menerangi kehidupan orang lain. “Oh Tuhan.... !!” Tubuhku terkapar di lantai kamar itu. Aku tak sanggup lagi menahan air mata yang sejak tadi tumpah ruah dalam hatiku. “Tuhan, ijinkanlah aku bertemu dengan ayahku, agar aku bisa memberikan sedikit kebahagian untuk ibu...."
Akhirnya putuskan saja untuk melupakan semua tentang ayah. Rasanya tak mungkin aku menemukannya. Aku akan pulang saja dulu menjemput ibu. Kukemasi beberapa baju dari dalam almari. Ada sesuatu yang jatuh ke lantai. Subhanallah, ternyata itu adalah buku nikah ayah dan ibuku. Aku lupa telah menyimpannya di dalam almari. Secercah harapan kembali bersinar di hatiku. Kuambil HPku dan segera menelepon Ayu.
“Ayu di sini. Ada kabar?”
“Aku menemukan identitas ayahku, Yu!”
***
Ayu berinisiatif mengetuk pintu rumah itu mendahuluiku. Perempuan sedikit lebih muda dari aku membukakan pintu. “Apa benar ini rumah Bapak Suparlan?” tanya Ayu.
“Iya benar,”
“Bapak sedang berada di rumah?”
“Iya ada, silahkan masuk!”
Dari ruang tamu itu terdengar suara perempuan lain yang sepertinya lebih tua dari yang membukakan pintu tadi. Perempuan seumuran ibuku keluar dari dalam, dan menemui kami di ruang tamu. Detak jantungku terpacu, seiring keringat dingin yang meleleh di wajah dan sekujur tubuhku.
Saat itu Ayu yang lebih banyak bicara. Tiba-tiba dia mengeluarkan beberapa peralatan kosmetik. Aku baru menyadari bahwa di berpura-pura menjadi sales girl. Hingga akhirnya laki-laki itu datang, dan ikut nimbrung dalam pembicaraan Ayu dan perempuan itu. Bahkan dalam sekejap, ayu sudah berhasil memperoleh identitas kedua orang itu dari mereka. Kemudian kuketahui identitas yang ada di KTP itu terdapat nama dan tanggal lahir yang sama dengan yang ada di buku nikah itu.
Aku menghirup nafas dalam-dalam. Aku belum berani menatap wajah laki-laki itu. Berbagai kemungkinan berseliweran di benakku. Aku tak ingin menerima kemungkinan terburuk.
“Produk ini dari Bojonegoro, Ibu!” kata Ayu.
 “Bojonegoro?!” laki-laki tersentak. “Kalau boleh tau Bojonegoro mana, Mbak?”
“Tepatnya di Kecamatan Ngasem Bapak. Apa Bapak tahu atau pernah ke sana?” tanya Ayu menyelidik.
“Pernah, tapi sudah lama sekali, Mbak!” jawab laki-laki itu. Kuberanikan diri untuk menatap wajahnya. Kupandang wajahnya.
“Astaghfirullohal ‘adhim...!” Kulihat ada tompel kecil di dahinya.
Nafasku sengal tak beraturan. Aku segera berdiri, lalu merobohkan meja kaca itu hingga pecah tak karuan.
“Laki-laki Bangsat!!!” Teriakku padanya. Lalu kulemparkan buku nikah itu ke wajahnya
***
Cerpen ini diikutkan dalam Lomba Cerpen #EverlastingWomen yang diadakan oleh DIVA Press dan UNSA. Gagal.

4 comments:

  1. True story..
    Cerpen yang bagus, endingnya keren..
    Semoga menang ya kak :)

    ReplyDelete
  2. Ini udah kalah dik, makanya aku posting :D

    ReplyDelete
  3. Tetap semangat kakak ;)
    Iya, tadi sudah baca postingan Pak Edi Akhiles, cerpen siapa saja yang menang :)

    ReplyDelete