“Masih berapa lama lagi sih, Lang?” Suara Grisa diikuti
suara gemuruh guntur di ujung langit timur. Tak lama suara-suara hujan
meriuhkan suasana pembicaraan mereka yang sepi.
“Belum tau, Gris. Masih ada beberapa bagian yang harus
diperbaiki ini. Dan aku tak bisa menentukan berapa lama waktunya.”
Kedua alis Grisa bergeser saling mendekat. Di bawah
hidungnya yang mungil, sudah terpampang jelas bibir manyun. Bila dirasa perlu,
Grisa biasanya memperjelasnya kemanyunannya ketika Galang menatapnya. Namun
tidak kali ini, Galang tak sedikit pun mengalihkan pandangannya dari LCD
monitor di depannya. Ketika berpadu dengan rambut poni dan dagunya yang lancip,
wajahnya justru terlihat kian menggemaskan saat dia cemberut.
Sebelum mereka jadian, sebenarnya Galang sudah pernah
menjelaskan pada Grisa, bahwa blogging sudah menjadi bagian dari hidupnya. Tak
ada sesuatupun yang bisa memisahkannya dari dunia blogging. Namun rupanya aura
Galang yang begitu kentara, dengan mudah membuat Grisa berjanji tak akan
mempermasalahkan itu, waktu itu.
“Kalo gitu aku pulang aja deh?!” Grisa mencoba
menggertak. Namun jemari Galang yang masih sedemikian beringasnya di atas
keyboard hitam itu, membuat gertakannya sama sekali tak berarti. Grisa makin
kesal ketika melihat barisan code-code di
layar monitor itu.
“Kau tak ingin membaca puisi-puisi ini dulu?” Galang
menyebut code itu puisi. Sebuah hal
yang sampai saat ini tak pernah terlihat oleh Grisa dan sudut pandang manapun.
“Emang kurang kerjaan apa?” Grisa berdiri dari tempat
duduknya. “Aku mau pulang!” Dia masih berusaha menekankan gertakannya, sambil
berharap Galang akan meraih tangannya.
Galang hanya sedikit melirik ke arahnya. Gertakannya
kini hanya seperti ombak yang mencoba merobohkan karang. Meski sebenarnya Galang
tak tega melepas kepergian Grisa, namun ia merasa harus menuntaskan kerjaannya.
Dia tak mau kehilangan alur puisi-puisinya. Galang hanya termangu memandang
kekasihnya yang sudah berhasil melangkah sedikit menjauh dari posisi Galang.
“Setidaknya tunggulah sampai hujan reda, Gris!” ucap
galang, berharap bisa menahan kepergian Grisa. Grisa membalikkan badan. Matanya
menatap tajam ke arah Galang, kemudian getir perlahan mengalir dalam hatinya.
Sebuah tatapan kekecewaan yang berusaha menyudutkan Galang sore itu. Grisa
secepat kilat kembali mengahadap ke pintu, sebelum pandangan Galang kembali
layar monitornya. Dan benar, suara gemerancak jemari menekan keyboard kembali
menyakiti hatinya.
Grisa terlanjur berbalik badan. Dia tak mungkin kembali
duduk di samping Galang, meski ia ingin. Grisa panik. Dia baru saja melewatkan
momen yang sebenarnya sangat ia harapkan, yaitu saat Galang melarangnya pergi. Tapi
Ego dan gengsinya terlalu mencengkeram hatinya. Momen itu pun terlewatkan. “Galang...!
Cegah aku dong...!” pekiknya dalam hati.
Kakinya harus tetap melangkah mendekati pintu bergagang
keemasan itu. Langkahnya terasa begitu berat dan melambat. Tapi sayang, jarak
pintu itu terlalu dekat. Tangannya kini sudah sampai pada gagang pintu. “Duh,
kenapa Galang diem aja sih? Dasar bodoh!” gerutunya kian mendalam. Pintu itu
terasa seperti tepian tebing yang teramat tinggi. Ia pasti akan jatuh saat
melawati pintu itu. Hatinya miris dalam gerimis yang tak kunjung habis.
“Grisa...!!!” Grisa menghentikan langkahnya. Harapan
itu kembali muncul dalam hati Grisa. Dia tak ingin lagi kehilangan momen. Tapi dia
sadar harus tetap menjaga harga diri di mata Galang, karena itu dia tak
membalikkan badannya. Meski dalam hatinya ia berbunga-bunga, karena Galang akan
segera mencegahnya pergi. “Ayo cepat Galang, hentikan langkahku..!” mohonnya
dalam hati.
“Hati-hati di jalan ya!”
Brakkk. Pintu itu pun terbanting sedemikian kerasnya.
Grisa ingin sekali meminjam motor Marc Marquess agar bisa secepat kilat
meninggalkan Galang.
***
Sial, Grisa lupa kalau dia sudah memaksa sopirnya untuk
langsung pulang setelah mengantarnya tadi, karena rencananya Grisa akan jalan
sama Galang. Tapi yang terjadi kini bertolak belakang dengan harapannya. Dia
tak mungkin menyuruh sopirnya untuk segera menjemputnya, karena tak mungkin pula
ia menunggunya di sini. Di depan rumah Galang. Sedangkan hujan justru semakin
deras.
Grisa nekad berjalan menerobos hujan. Tak lama seluruh
tubuhnya basah kuyup. Sesekali angin berulah nakal ingin menyingkap rok
merahnya. Tak ada yang tahu kalau pipinya tidak hanya basah karena air hujan,
tapi juga air mata. Kamu tega banget sih, Lang? Gerutunya dalam hati.
Sebuah mobil sedan putih menepi dan berhenti di
depannya. Pintu sebelah kirinya terbuka, namun Tak ada seseorang yang keluar
dari mobil itu. Sebuah mobil yang tak asing di mata Grisa. Mobil mewah milik si
anak papa, Antony, yang mati-matian mengejar cinta Grisa. Seperti sore ini, ia
selalu datang di saat aku membutuhkan seseorang. “Tot tot,” klaksonnya berbunyi
dua kali, karena Grisa yang tak juga masuk ke dalam mobil.
Meski berat, akhirnya Grisa melangkah masuk ke dalam
mobil. Antony memberikan sebuah handuk kecil padanya.
“Kamu bisa sakit tau nggak?” ujar Antony pelan.
“Emang udah sakit,” jawaban yang datar-datar saja
keluar dari mulutnya. Ia memang sudah sakit, tapi tempatnya dalam hati.
“Mana Galang?” Antony menelisik apa yang sedang
terjadi.
“Lagi di rumah,” hajing... Grisa bersin-bersin. Ia masih
sibuk mengeringkan rambut dan wajahnya dengan handuk kecil pemberian Antony.
“Kenapa tidak menelepon dia buat nganterin pulang? Lagi
berantem ya?” Pertanyaan itu terasa menohok sekali di relung hati Grisa. Tak mungkin
ia membeberkan apa yang sedang terjadi antara dirinya dengan Galang, bisa-bisa
Antony merasa berpeluang besar merebut hatinya.
“Enggak. Buat apa berantem? Kita baik-baik saja,” suaranya
meragu.
“Udah, nggak usah bohong. Tak mungkin weekend gini
seorang gadis yang nggak jomblo, berjalan hujan-hujan sendirian kalau tidak
sedang bertengkar sama pacarnya.”
“Sok tau banget sih?” Grisa manyun.
“Ya sudah lah, enggak penting juga bagiku. Sekarang
kamu mau kemana?”
“Ya pulanglah.”
Antony mengarahkan laju mobilnya menuju rumah Grisa.
=====> harus bersambung ... =======>
=====> harus bersambung ... =======>
No comments:
Post a Comment