Sunday, January 6, 2013

Kang Santri in Love

Hari itu langit sedang tertutup oleh awan hitam yang menggumpal, menutupi segala penjuru langit. Aisyah melihat arlojinya yang menunjukkan pukul tiga sore. Ia harus segera sampai di rumah. Tadi pagi sebelum Aisyah berangkat ke kantor, ibu mewanti-wantinya agar segera pulang setelah jam kantor selesai. Saat Aisyah bertanya ada apa, Ibu hanya menjawab nanti juga pasti akan tahu. 
Aisyah langsung menaiki motornya, dan menyusuri jalan menuju ke rumah. Jarak antara kantor dengan rumahnya hanya sekitar 2 km. Namun padatnya kendaraan di jalan raya, membuat Aisyah agak lama sampai di rumah. Sedangkan awan tebal di atas seperti hendak tumpah ke bumi. Aisyah pun berusaha untuk secepat mungkin sampai di rumah.

Tiiiiiiiiiiiiittt, suara klakson sebuah mobil yang melaju dari arah depan Aisya. Hampir saja dia terserempet oleh mobil itu. Untuk dia segera tersadar dari lamunannya. Dalam perjalanan dia selalu dijejali tanda Tanya dalam hati. Jawaban ibu yang sangat tidak jelas tadi pagi membuat Aisyah menyisakan kegalauan dalam hatinya. Karena kali ini bersikap tak seperti biasanya.

Ada apakah gerangan? Apa Ibu akan membelikannya sesuatu. Ataukah akan ada seseorang yang akan dijodohkannya dengannya? Ataukah Mas Kholis diam-diam akan melamarnya malam ini? Dan atau atau yang lain yang tak tergambar jelas di benak Aisya. Yang jelas saat ini dia masih menjalin hubungan dengan Kholis yang sekarang masih menimba ilmu di sebuah pondok pesantren di Kendal, Ngumpak Dalem, Dander, Bojonegoro.

Sesampainya Aisyah di rumah, ternyata di depan rumah sudah terparkir mobil. Siapakah tamu yang datang? Pikirnya dalam hati. Setelah memarkir motornya, dia bergegas masuk ke rumah, menyalami ibunya, kemudian menyalami satu persatu tamu yang ada di sana. Mereka berjumlah empat orang. Aisyah belum mengenal siapa mereka.Yang jelas wajah mereka begitu berseri ketika menyambut kedatangannya.
Setelah beberapa lama berbincang, akhirnya Aisyah mengetahui bahwa mereka adalah Bapak Zainuddin beserta istri dan anak-anaknya. Istri Pak Zainuddin bernama Siti Rukayah, nampak akrab sekali dengan ibu Aisyah. Ternyata mereka adalah teman ketika masih sama-sama berada di pesantren dulu. Anak yang pertama bernama Yusuf, kira-kira berusia 27 tahun, dan Silvi yang kira-kira berusia 16 tahun. Mereka nampak sekali sebagai keluarga yang bahagia, mereka juga agamis kalau sekilas dilihat dari cara mereka berpakaian.

Wajah Yusuf yang rupawan, tak pernah dibantah oleh Aisyah. Ditambah lagi dengan bibirnya yang murah senyum. Apalagi senyum itu makin membuat wajah Yusuf kian terlihat manis. Secara sederhana, siapapun wanita yang bertemu dengan Yusuf, pasti akan terpana dan akan dengan mudah sekali jatuh cinta.
Begitu juga dengan Aisyah, sejenak dia begitu terpesona, dan lupa dengan sosok yang bernama Kholis di sana. Sedangkan tujuh tahun yang lalu, Aisyah dan Kholis telah menyatukan janji akan saling menanti satu sama lain, hingga waktu mengijinkan mereka untuk bersatu.

Kholis pernah mengatakan bahwa “Tak ada cinta setulus cintaku padamu, maka tunggulah aku, berikanlah aku waktu untuk memantaskan diri agar layak untuk menjadi pendampingmu.”Saat itu adalah ketika mereka masih duduk dibangku kelas tiga di Madrasah Tsanawiyah. Sebelum akhirnya mereka terpisah karena melanjutkan ke jenjang pendidikan yang berbeda. Kholis memutuskan untuk nyantri di Kendal, sedangkan Aisyah memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya di SMA Negeri.

Meski demikian, bukan berarti keagamaan Aisyah sedikit, karena Aisyah tumbuh dari kalangan keluarga yang agamis dan berilmu agama yang mendalam, sehingga masalah keagamaan dia pelajari dari ayah dan ibunya setiap hari.

Pernah suatu malam ketika Kholis pulang. Dia main ke rumah Aisyah. Ketika itu ayahnya masih hidup. Ayah Aisyah mengetahui perihal hubungan anaknya dengan Kholis. Lalu ayah Aisyah memberikan syarat pada Kholis bila ingin mempersunting Aisyah. Syaratnya ada dua, Kholis harus hafal Alfiyah berikut artinya, serta hafal Al-Quran.

Sejak saat itu, Kholis bertekad akan memenuhi kedua syarat itu. Mendengar hal itu, keduanya pun makin yakin, bahwa keduanya nanti benar-benar akan hidup bersama.

Hari sudah menjelang maghrib, Pak Zainuddin dan keluarganya berpamitan pulang. Dengan wajah penuh senyuman, Aisyah dan Ibunya mengantarkan tamunya sampai di depan rumah. Entah apa yang ada dalam hati Aisyah. Apakah dia akan menerima lamaran Yusuf atau tetap menanti Kholis pulang.

Tiga bulan lagi adalah waktu yang dijanjikan Kholis untuk memenuhi semua syarat yang telah ditentukan oleh ayah Aisyah dulu. Mungkin karena itulah saat ini Aisyah merasa gelisah.

Aisyah baru saja shalat berjamaah dengan ibunya. Lalu dia pun mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya kepada ibunya. “Bu, bukankah Aisyah sudah menjalin hubungan dengan Kholis. Apa yang akan terjadi dengan Kholis bila Aisyah menerima pinangan Yusuf?”

“Aisyah, usia kamu sekarang sudah 23 tahun, bagi perempuan itu adalah usia yang sudah terlambat untuk menikah. Mestinya kamu sudah menikah empat tahun yang lalu. Lagian ibu sudah ingin sekali menimang cucu.”

“Tapi tiga bulan lagi Kholis akan pulang Bu, dan dia akan segera melamar Aisyah.”

“Aisyah, lihatlah Yusuf, dia ganteng, kaya, juga pintar, lulusan Pondok Sarang juga lho, apalagi sekarang dia juga sudah menempuh S2 di Jakarta. Kurang apa coba? Ingat ya Nduk, kamu diberi kesempatan dua hari untuk memikirkannya, ibu harap kamu juga menggunakan logika dalam menentukannya, selain dengan hati,” lanjut ibunya.

Pada detik-detik akhir dia harus memilih, akhirnya dia pun membuat keputusan, bahwa dia menerima lamaran Yusuf. Ibunya yang memang menunggu jawaban seperti itu, sontak gembira dan segera menelepon Bu Siti Rukayah, ibu Yusuf.

Seminggu setelah itu, tepat di malam Minggu, Pak Zainuddin dan keluarganya kembali bertamu ke rumah Aisyah, untuk menentukan tanggal pernikahan mereka. Aneka hidangan dan kue telah tersaji di meja ruang keluarga. Sedangkan di ruang tamu, hanya ada minuman dan camilan. Sesekali gurauan hangat lahir di tengah percakapan mereka.

“Assalamu’alaikum,” tiba-tiba datanglah seorang tamu lagi ke rumah Aisyah.

“Wa’alaikum Salam,” semua pun menjawab salam itu.

“Kholis?!” kata Aisyah terperanjat. Sekejap dia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Dan Kholis pun belum mengerti apa yang sedang terjadi. Ibu Aisyah segera mempersilahkan Kholis untuk duduk.

Saat itu Kholis datang dengan mengenakan atasan koko dan bawahan sarung. Di usianya yang sekarang dia sudah nampak dewasa sekali. Wajahnya yang meski tidak berkulit putih, namun terlihat cerah sekali. Pandangan matanya yang teduh dan senyumnya pun bersahabat.

Ibu Aisyah sebenarnya juga bingung, tak tahu bagaimana nanti dia menjelaskan semuanya kepada Kholis. Satu persatu Kholis juga menyalami tamu yang ada di rumah itu, Bapak Zainuddin sekeluarga yang juga tidak mengerti tentang apa yang tengah terjadi, membuka perbincangan dengan Kholis. Ngobrol ngalor ngidul hanya untuk mengisi keheningan. Dan Kholis pun bisa mengikuti pembicaraan dengan baik. Ditambah lagi dengan sopan santunnya, Pak Zainuddin pun menaruh simpati pada Kholis.

Tak lupa juga Yusuf juga ikut nimbrung dalam pembicaraan antara ayahnya dengan Kholis. Dan dari apa yang dibicarakan, Yusuf   menilai bahwa Kholis memiliki ilmu agama yang luas, bahkan ketika diajak berbicara tentang hal-hal yang lainnya, Kholis pun bisa menyambung. Karenanya Yusuf pun tak kuat untuk tidak menanyakan dimana Kholis sekarang melanjutkan studinya.

“Kalau boleh tahu dimana kuliah Mas Kholis ini sekarang?”  tanya Yusuf.

“Saya tidak kuliah Mas, bahkan saya hanya lulusan MTs. Karena setelah lulus MTs saya langsung masuk ke pondok pesantren yang ada di Kendal.” Yusuf dan Pak Zainuddin pun terperanjat dengan jawaban dari Kholis.

“Kalau masalah Tafsir, Hadits dan Bahasa Arab, saya yakin Nak Kholis ini sudah sangat mahir. Lalu yang saya heran itu, dari mana Nak Kholis ini mempelajari tentang ekonomi, Khususnya marketing. Nampaknya Nak Kholis ini juga paham betul akan hal ini?” Tanya Pak Zainuddin.

“Ah, Bapak ini bisa saja, saya masih miskin ilmu Pak, masih terlalu sedikit yang saya tahu tentang apapun, kalau mas Yusuf ini, saya sudah pasti percaya,” jawab Kholis.

Sementara itu, Aisyah dan Ibunya masih sibuk menata tempat untuk makan malam di ruang tengah. Kholis dan Pak Zainuddin makin hangat dalam mengobrol.

“Ngomong-ngomong, Pak Zainuddin ini rumahnya mana?” tanya Kholis.

“Emm.. Rumah saya Cepu, Jawa Tengah, tapi yang paling timur. Alhamdulillah, anak saya ini akan menikah dengan Aisyah. Ibu Aisyah adalah teman dari istri saya dulu waktu masih sama-sama di pesantren, dan  dengan perjodohan ini, insya Allah akan makin mempererat hubungan keluarga.”

Kholis tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Dia mencoba memastikan sekali lagi.

“Jadi Bapak akan berbesanan dengan Ibu Aisyah?” tanya Kholis.

“Iya Nak Kholis, besok saya harap Nak Kholis bisa hadir ya di acara pernikahan mereka?” jawab Pak Zainuddin.

Hancurlah berkeping-keping perasaan Kholis setelah mendengar jawaban Pak Zainuddin, kedua bola matanya berkaca-kaca, seperti hendak menumpahkan air mata. Apa yang telah dilakukan oleh Aisyah? Mengapa dia tega sekali kepada saya? Apakah dia lupa dengan janji kita berdua? Seribu tanya lahir di dalam benak yang tengah hancur berkeping-keping itu.

Sedangkah Kholis sudah bertahun-tahun berusaha untuk memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh Ayah Aisyah. Tapi Kholis tetaplah Kholis, yang tetap bisa menguasai diri meski pada saat seperti itu. Dan dia tidak mau merusak acara keluarga mereka pada malam itu. Dia pun berpamitan kepada Ibu Aisyah.

“Saya mohon pamit dulu Ibu, oh ya Aisyahnya mana Bu?”Kholis berpamitan.

“Oh, Itu... Aisyah sedang di kamar mandi.”Jawab ibu Aisyah.

“O.. Ya sudah Bu, saya mohon pamit dulu,  titip salam saja ya Bu buat Aisyah, Assalamu’alaikum.”

Kholis segera menstater motornya dan menyusuri jalan perkotaan di Bojonegoro. Tak jelas kemana tujuan Kholis. Kalau dia mau pulang, mestinya dia langsung menuju ke arah barat sewaktu dari rumah Aisyah tadi. Tapi kini dia ke timur, lalu belok ke utara, hingga sampai di alun-alun Kota Bojonegoro.

Di dalam perjalanan dia berusaha sekuat mungkin untuk menguasai perasaannya, dan mencoba menafikan apa yang sedang dia rasakan saat ini. Impian yang sudah dia bangun sejak tujuh tahun yang lalu telah lenyap begitu saja.

Disana, di alun-alun Bojonegoro banyak sekali Pedagang Kaki Lima yang berjualan. Akhirnya dia memutuskan untuk berhenti di salah satu penjualnya. Dia memilih warung yang tidak banyak pengunjungnya, karena dia ingin tempat yang sepi. Tepatnya di sisi selatan alun-alun bagian timur. Tempat itu agak gelap, karena hanya diterangi oleh lampu jalan. Setelah memesan secangkir kopi, dia duduk bersandar, mengahadap ke jalan.

Tiba-tiba dia tak mampu lagi membendung air mata yang sejak tadi ingin tumpah. Menangislah dia, menangis sejadi-jadinya. Meraung keras sekali dan tak peduli dengan sekitar. Seakan dia ingin menumpahkan segala rasa sakit hati yang dirasakannya. Tidak dengan memelankan suaranya, atau usaha lain agar tangisnya tertutupi. Dia sudah tak mampu lagi untuk memikirkan hal itu. Semakin dia ingin menghentikan tangisnya, maka tangisnya pun kian meledak. Penjual kopi itupun bingung melihat apa yang terjadi dengan Kholis itu. Kopi yang sudah jadi dari tadi, urung dia berikan, karena Kholis masih menangis, tak sadarkan diri. Hingga ketika tangis Kholis sudah terhenti, barulah ia menyodorkan kopi itu padanya.

Tujuh tahun  Kholis menahan rindu, tujuh tahun yang tidak sebentar, tujuh tahun yang setiap harinya tak berjalan tanpa ada nama Aisyah, Tujuh tahun yang setiap jamnya adalah tentang Aisyah, dan tujuh tahun yang setiap menitnya berdetik nama Aisyah. Kini semua hilang dalam sekejap. Tak ada lagi mimpi tak ada lagi harapan. Kholis merasa hidup ini tiada arti lagi.

Bila cinta itu bintang
Tak kan pernah dia menghilang, meski awan menghalang
Bila cinta itu matahari
Tak kan pernah padam sinarnya, meski malam memisahkannya
Bila cinta itu samudra,
Tak kan lelah kita mengarunginya, meski dengan berenang

Dituangkannya kopi dalam cangkir itu ke lepek. Serpppppp...  Kholis sangat akrab sekali dengan minuman  itu sejak dia tinggal di pesantren. Sebungkus rokok di sakunya masih cukup untuk menemaninya semalam ini. Sedikit demi sedikit hatinya agak tenang, seiring dengan selepek demi selepek kopi yang ia minum, dan perasaannya menjadi lebih baik, ketika hisapan demi hisapan rokok dia hembuskan. Dalam diam secangkir kopi itu seolah berkata kepada dirinya:

Hai pemuda, kaukah pemuda, yang begitu mudah rapuh karena perempuan?
Hai Santri, Kaukah santri, yang begitu rapuh menghadapi takdir? Tak percayakah Engkau pada takdir-Nya?
Hai Pencinta, Kaukah pencinta? Yang hanya memikirkan kehendak hati sendiri, tidakkah kau melihat, mungkin dia akan lebih bahagia bila hidup dengan pemuda itu dari pada dengan kamu?
Atau bagaimana ku harus memanggilmu?
Renungkan dan rasakanlah, sebenarnya telah kau dapatkan cinta yang jauh lebih besar dari apa yang kau harapkan. Allah mencintaimu, karenanya Allah membuatmu menjadi seperti yang sekarang ini, yang seorang hafidz, juga orang yang mengerti ilmu agama dengan mendalam. Tidakkah kau rasakan itu sebagai cinta. Maka cintailah Sang Kholiq dan semua yang dicintai-Nya. Hiduplah karena cinta-Nya. Dimana semua yang kau lakukan adalah wujud dari cintamu kepada-Nya.”

Dering ponselnya yang sedari tadi berbunyi baru bisa menyadarkan lamunannya, setelah berbunyi untuk ke dua kalinya. Oh, ternyata dari temannya di pesantren.

“Assalamu’alaikum...”

“Waalaikumsalam warohmatullah, ada apa Kang?”

“Kamu ditimbali Yai, diutus untuk segera kembali ke pesantren, ada yang mau dibicarakan dengan kamu, penting!!”

“Baik Kang.”

Diapun segera kembali ke pesantren. Tak butuh waktu lama untuk sampai di pesantren, karena jaraknya memang tidak terlalu jauh. Selain karena dekat, dia juga memacu kencang motornya karena harus segera sowan pada Kyai. Kata-kata kata “penting” yang dia dengar di telephone tadi, rupanya menyita pikirannya. Ada apakah gerangan?

Setelah dia memarkir motornya, bergegas dia menuju ke ndalem. Kebetulan saat itu, Kyai sedang ada tamu, jadi dia bila langsung menemuinya. Satu orang seumuran Kyai, dan dua orang yang kira-kira umurnya sedikit di bawah Kholis.

“Assalamu’alaikum,” dia berdiri membungkukkan badannya di depan pintu.

“Wa’alaikum salam, sini cung sini!” kata Pak Kyai. Setelah menyalami Pak Kyai dan beberapa tamu di sana, dia segera mengambil tempat yang masih longgar.

“Pak Ghofur, inilah anak yang saya maksud,” kata Pak Kyai kepada tamunya sambil menunjuk ke arah Kholis. Pak Ghofur menoleh ke arah Kholis. “Terserah Pak Ghofur, mau diapakan anak ini nanti,” lanjut Pak Kyai.

Kholis tak mengerti maksud Kyai dan tamu itu. Dia hanya menundukkan kepalanya saja. Sedangkah hatinya mencoba menebak-nebak tentang apa yang sedang terjadi.

“Baiklah Pak Kyai, apakah nanti bisa langsung kami bawa ke rumah?  Ha ha ha,” Pak Ghofur tertawa lepas, karena dia sebenarnya adalah teman Pak Kyai ketika masih nyantri di Pasuruan. Jadi sudah terbiasa bercanda dengan Pak Kyai. Pak Kyai pun tertawa mendengar pertanyaan Pak Ghofur. Kholis pun kian bertanya-tanya siapa Pak Ghofur ini, dan apa keperluan dengannya?

“Bisa bisa... Semua saya serahkan sama Pak Ghofur sajalah,” Pak Kyai beranjak berdiri, sebelum masuk ke rumah belakang beliau menatap Kholis. “Lis, sekarang kemasi semua pakaian dan kitab-kitabmu, setelah itu bawa semuanya ke sini!” Kholis yang seorang santri, tidak berada pada kepatutannya untuk bertanya “untuk apa?” pada Kyai. Dia segera melaksanakan apa yang sudah diperintahkan Kyai padanya.

Satu tas besar dan dua kardus telah dia bawa di teras ndalem. Dia kembali masuk ke dalam. Belum lama dia duduk, Pak Ghofur sudah pamit mengundurkan diri. “Kholis, sekarang kamu ikut Pak Ghofur. Ada yang perlu kamu selesaikan bersama beliau nanti,” kata Pak Kyai sambil memberikan sebuah amplop pada Kholis.

“Injih Yai,” Kholis bersalaman, mencium punggung dan telapak tangan Yai penuh takdzim.  Kholis pun mengikuti langkah Pak Ghofur menghampiri mobil yang terparkir di halaman pesantren. Barang bawaannya telah terlebih dulu di bawa dua anak tadi ke dalam mobil. Pak Ghofur pun membukakan pintu mobil bagian depan untuk Kholis. Tentu saja itu membuat Kholis merasa tak pantas. Tapi dia mengikuti saja perlakuan itu. Seribu tanya sudah cukup memenuhi pikirannya saat itu.

Sebelum mobil berjalan, dia menyempatkan diri melihat ke arah asrama. Beberapa temannya berdiri di depan asrama melepas kepergiannya. Dan mobil itu pun membawanya pergi ke tempat yang dia sendiri belum tahu.

“Kalau gus Kholis sedang capek, monggo tidur dulu nggak papa,” kata Pak Ghofur setelah membelokkan mobilnya ke arah barat ketika sampai di perempatan jetak. Sebenarnya kata gus di depan namanya tadi meninggalkan tanya juga dalam benaknya. Tapi dia juga tak berani bertanya, karena Pak Ghofur adalah teman Pak Kyai. Baginya itu adalah sikap yang kurang sopan. Apalagi untuk bertanya kemana mereka akan pergi.

Ketika dia terbangun dari tidurnya, mobil yang membawanya pergi ternyata sudah memasuki area pesantren. Di papan nama yang dia lihat di sisi kanan gapura, dia mengetahui bahwa ini adalah Pondok Pesantren Al-Fattah Blora Jawa Tengah.

Pak Ghofur membawanya ke kamar yang telah disediakan khusus untuknya. Kamar VIP yang cukup luas. Di dalamnya sudah ada kamar mandi berikut handuk yang sudah siap pakai. Di salah satu sudutnya juga telah ada kulkas yang di dalamnya terdapat banyak minuman dan buah-buahan.

“Ini kamar njenengan untuk semestara Gus, silahkan kalau mau mandi dulu ataupun shalat, saya mau matur ke Pak Kyai dulu,” kata Pak Ghofur.

“Iya Pak,”
“Oya Gus, nanti kalau butuh sesuatu jangan sungkan-sungkan untuk sms atau telphone saya ya? Ini nomer HP saya,” kata Pak Ghofur sambil memberikan secarik kertas bertuliskan nomor hand phone.
“Iya Pak,”
Kholis segera menutup kamar. Dia pun segera mandi dan shalat Isya’ yang belum dia tunaikan. Terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Dia pun segera membukakan pintunya. Ternyata dua santri sedang mengantarkan makanan untuknya. Merasa mendapatkan perlakuan yang berlebihan dan menumpuknya ribuan tanya dalam hatinya, dia memutuskan untuk segera mencari jawaban atas semuanya. Dia nekad menelephone Pak Ghofur dan memintanya datang ke kamar.
“Jadi begini Gus, Pak Kyai Muhaimin, pengasuh pesantren ini, adalah teman baik Pak Kyai njenengan di Bojonegoro, Pak Kyai Hamid. Pak Kyai Muhaimin minta tolong kepada Pak Kyai Hamid untuk mencarikan suami bagi putrinya. Dan njenenganlah yang dipilihkan oleh Pak Kyai Hamid,” kata Pak Ghofur menjelaskan semua pertanyaan Kholis.
Antara setengah percaya dan tidak, dia kemudian berdiri mengambil amplop yang tadi diberikan oleh Pak Kyai Hamid. Di dalam amplop itu berisi uang satu juta dan secarik kertas yang bertuliskan:
Barakallahu laka wa baraka ‘alaikuma, wa jama’a bainakuma fi khair. Nikahilah putri Kyai Muhaimin, jadilah imam yang baik baginya dan mengabdilah di sana dengan ikhlas. Uang ini bisa kamu gunakan sebagai maharnya.
Abah.
“Subhanallah wal hamdu lillah, wa laailaaha illa Allah, wallahu akbar.” Jiwanya bergetar membaca surat itu. Dia segera sujud syukur, berterimakasih pada Allah yang telah memberikannya karunia yang tak pernah terpikirkan olehnya. Dia kembali menemui Pak Ghofur.
“Selamat ya Gus, besok akad nikah akan dilaksanakan pukul sembilan di mushalla,”
“Baik Pak,” Kholis menjabar erat tangan Pak Ghofur.
Esoknya akad nikah pun dilaksanakan sesuai dengan rencana. Ning Aulina, calon istrinya,  ternyata hanya meminta dibacakan surat Ar-Rohman sebagai mahar pernikahannya. Pak Kyai Muhaimin sendiri yang melaksanakan ijabnya. Dan setelah akad nikah dilaksanakan, Kholis segera diberi kesempatan untuk memberikan maharnya. Dia pun membacakan surat Ar-Rahman di tengah-tengah majlis itu.
Suaranya yang merdu, membacanya yang fasih dan dengan lagu yang indah, membuat semua orang yang mendengarkannya terharu. Apalagi Kholis adalah seorang hafidz. Ning Aulina yang duduk di sampingnya tak berhenti menangis karena mendengarkan ayat-ayat suci yang dibacakan khusus untuknya.

No comments:

Post a Comment